Rabu, 06 Juli 2011

MARKET SEGMENTATION

Market Segmentation atau Segmentasi Pasar, pertama kali diperkenankan oleh Wendell R. Smith pada tahun 1956 dalam artikel terkenalnya yang berjudul "Product Differentiation and Market Segmentation as Alternative Marketing Strategies" yang dimuat di Journal of Marketing. Menurutnya, konsumen itu bersifat unik dan berbeda-beda. Konsekwensinya, mereka membutuhkan program pemasaran yang berbeda pula. Dalam artikel orisinalnya tersebut, Smith menawarkan diferensiasi produk untuk melayani segmen yang berbeda sebagai alternatif strategi pemasaran.

Secara garis besar, segmentasi pasar dapat diartikan sebagai proses mengelompokkan pasar keseluruhan yang heterogen menjadi kelompok-kelompok atau segmen-segmen yang memiliki kesamaan dalam hal kebutuhan, keinginan, perilaku dan/atau respon terhadap program pemasaran spesifik. Segmentasi pasar merupakan konsep pokok yang mendasari strategi pemasaran perusahaan dan pengalokasian sumber daya yang harus dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program pemasaran.

Segmen pasar terdiri dari sekelompok pelanggan yang memiliki kesamaan dalam hal tuntutan kepuasan terhadap suatu produk. Jika kita mendefinisikan segmen pasar atas dasar manfaat dan/atau solusi atas masalah, berarti kita menerapkan perspektif permintaan (demand perspective). Sementara itu, jika kita mendefiniskan pasar berdasarkan tipe produk yang dihasilkan, maka pendekatan ini disebut perspektif penawaran (supply perspective).

Perspektif permintaan (demand perspective) dapat diiintegrasikan dengan perspektif penawaran (supply perspective) melalui proses segmentasi pasar strategik yang langkah-langkahnya sebagai berikut:

Tahap Pertama: Segmentasi
1. mensegmentasi pasar menggunakan variabel-variabel permintaan, seperti kebutuhan pelanggan, keinginan pelanggan, manfaat yang dicari (benefit sought), solusi atas masalah yang dihadapi, situasi pemakaian, dan lain-lain.
2. mendekripsikan segmen pasar yang diidentifikasikan menggunakan variabel-variabel yang dapat membantu perusahaan memahami cara melayani kebutuhan pelanggan tersebut.

Tahap Kedua: Targeting
1. mengevaluasi daya tarik masing-masing degmen menggunakan variabel-variabel yang dapat mengkuantifikasi kemungkinan permintaan dari setiap segmen (misalnya, tingkat pertumbuhan segmen yang bersangkutan), biaya melayani setiap segmen, biaya memproduksi produk dan diferensiasi produk, dan kesesuaian antara kompetensi inti perusahaan dan peluang pasar sasaran.
2. memilih satu atau lebih segmen sasaran yang ingin dilayani berdasarkan potensi laba segmen tersebut dan kesesuaiannya dengan strategi korporat perusahaan.

Tahap Ketiga: Positioning
mengidentifikasi konsep positioning bagi produk dan jasa perusahaan yang atraktif bagi pelanggan sasaran dan kompatible dengan citra korporat yang diharapkan perusahaan.

Banyaknya perusahaan yang melakukan segmentasi pasar atas dasar pengelompokkan variabel tertentu. Dengan menggolongkan atau mensegmentasikan pasar seperti itu, dapat dikatakan bahwa secara umum perusahaan mempunyai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penjualan dan yang lebih penting lagi agar operasi perusahaan dalam jangka panjang dapat berkelanjutan dan kompetitif (Porter, 1991).

Manfaat yang lain dengan dilakukannya segmentasi pasar, antara lain:
1. Perusahaan akan dapat mendeteksi secara dini dan tepat mengenai kecenderungan-kecenderungan dalam pasar yang senantiasa berubah.
2. Dapat mendesign produk yang benar-benar sesuai dengan permintaan pasar.
3. Dapat menentukan kampanye dan periklanan yang paling efektif.
4. Dapat mengarahkan dana promosi yang tersedia melalui media yang tepat bagi segmen yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
5. Dapat digunakan untuk mengukur usaha promosi sesuai dengan masa atau periode-periode dimana reaksi pasar cukup besar.

Gitosudarmo (2000) menambahkan manfaat segmentasi pasar ini, sebagai berikut:
1. Dapat membedakan antara segmen yang satu dengan segmen lainnya.
2. Dapat digunakan untuk mengetahui sifat masing-masing segmen.
3. Dapat digunakan untuk mencari segmen mana yang potensinya paling besar.
4. Dapat digunakan untuk memilih segmen mana yang akan dijadikan pasar sasaran.

Sekalipun tindakan segmentasi memiliki sederetan keuntungan dan manfaat, namun juga mengandung sejumlah resiko yang sekaligus merupakan kelemahan-kelemahan dari tindakan segmentasi itu sendiri, antara lain:
1. Biaya produksi akan lebih tinggi, karena jangka waktu proses produksi lebih pendek.
2. Biaya penelitian/ riset pasar akan bertambah searah dengan banyaknya ragam dan macam segmen pasar yang ditetapkan.
3. Biaya promosi akan menjadi lebih tinggi, ketika sejumlah media tidak menyediakan diskon.
4. Kemungkinan akan menghadapi pesaing yang membidik segmen serupa.
Bahkan mungkin akan terjadi persaingan yang tidak sehat, misalnya kanibalisme sesama produsen untuk produk dan segmen yang sama.

Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melakukan Segmentasi

Pengusaha yang melakukan segmentasi pasar akan berusaha mengelompokkan konsumen kedalam beberapa segmen yang secara relatif memiliki sifat-sifat homogen dan kemudian memperlakukan masing-masing segmen dengan cara atau pelayanan yang berbeda.
Seberapa jauh pengelompokkan itu harus dilakukan, nampaknya banyak faktor yang terlebih dahulu perlu dicermati. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:

Dalam hubungan ini Kotler (1995) mengklasifikasikan jenis-jenis variabel segmentasi sebagai berikut:
1.Segmentasi Geografi
Segmentasi ini membagi pasar menjadi unit-unit geografi yang berbeda, seperti negara, propinsi, kabupaten, kota, wilayah, daerah atau kawasan. Jadi dengan segmentasi ini, pemasar memperoleh kepastian kemana atau dimana produk ini harus dipasarkan.
2. Segmentasi Demografi
Segmentasi ini memberikan gambaran bagi pemasar kepada siapa produk ini harus ditawarkan. Jawaban atas pertanyaan kepada siapa dapat berkonotasi pada umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, siklus kehidupan keluarga seperti anak-anak, remaja, dewasa, kawin/ belum kawin, keluarga muda dengan satu anak, keluarga dengan dua anak, keluarga yang anak-anaknya sudah bekerja dan seterusnya. Dapat pula berkonotasi pada tingkat penghasilan, pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman, agama dan keturunan
misalnya: Jawa, Madura, Bali, Manado, Cina dan sebagainya.
3. Segmentasi Psikografi
Pada segmentasi ini pembeli dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan:
a. Status sosial, misalnya: pemimpin masyarakat, pendidik, golongan elite, golongan menengah, golongan rendah.
b. Gaya hidup misalnya: modern, tradisional, kuno, boros, hemat, mewah dan sebagainya.
c. Kepribadian, misalnya: penggemar, pecandu atau pemerhati suatu produk.
4. Segmentasi Tingkah Laku
Segmentasi tingkah laku mengelompokkan pembeli berdasarkan pada pengetahuan, sikap, penggunaan atau reaksi mereka terhadap suatu produk. Banyak pemasar yakin bahwa variabel tingkah laku merupakan awal paling baik untuk membentuk segmen pasar.

Segmentasi perilaku dapat diukur menggunakan indikator sebagai berikut (Armstrong, 1997):
1. Manfaat yang dicari
Salah satu bentuk segmentasi yang ampuh adalah mengelompokkan pembeli menurut manfaat berbeda yang mereka cari dari produk. Segmentasi manfaat menuntut ditemukannya manfaat utama yang dicari orang dalam kelas produk, jenis orang yang mencari setiap manfaat dan merek utama yang mempunyai setiap manfaat. Perusahaan dapat menggunakan segmentasi manfaat untuk memperjelas segmen manfaat yang mereka inginkan, karakteristiknya serta merek utama yang bersaing. Mereka juga dapat mencari manfaat baru dan meluncurkan merek yang memberikan manfaat tersebut.
2. Status Pengguna
Pasar dapat disegmentasikan menjadi kelompok bukan pengguna, mantan pengguna, pengguna potensial, pengguna pertama kali dan pengguna regular dari suatu produk. Pengguna potensial dan pengguna regular mungkin memerlukan imbauan pemasaran yang berbeda.
3. Tingkat Pemakaian
Pasar dapat juga disegmentasikan menjadi kelompok pengguna ringan, menengah dan berat. Jumlah pengguna berat sering kali hanya persentase kecil dari seluruh pasar, tetapi menghasilkan persentase yang tinggi dari total pembelian. Pengguna produk dibagi menjadi dua bagian sama banyak, sebagian pengguna ringan dan sebagian lagi pengguna berat menurut tingkat pembelian dari produk spesifik.
4. Status Loyalitas
Sebuah pasar dapat juga disegmentasikan berdasarkan loyalitas konsumen. Konsumen dapat loyal terhadap merek, toko dan perusahaan. Pembeli dapat dibagi menjadi beberapa kelompok menurut tingkat loyalitas mereka. Beberapa konsumen benar-benar loyal, mereka selalu membeli satu macam merek. Kelompok lain agak loyal,mereka loyal pada dua merek atau lebih dari satu produk atau menyukai satu merek tetapi kadang-kadang membeli merek lain. Pembeli lain tidak menunjukkan loyalitas pada merek apapun. Mereka mungkin ingin sesuatu yang baru setiap kali atau mereka membeli apapun yang diobral.

diolah dari berbagai sumber

Selasa, 08 Februari 2011

Berkomunikasi Bukan Berbicara

Pernahkah Anda membayangkan seperti apa jika ada dua orang yang berbeda karakter dan menerapkan teknik komunikasi yang berbeda, berorasi di depan banyak audiens tentang teman mereka yang sudah meninggal di acara pemakamannya?

Si orang pertama berpidato tentang bagaimana saluran darah di kepala temannya tersebut mulai tersumbat, lalu menyebabkan ini, lalu menyebabkan itu, hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kepala temannya. Lalu ia menyambungnya dengan menjelaskan beberapa istilah medis, tips dan saran-saran kesehatan bagi audiens yang hadir di acara pemakaman tersebut. Si orang pertama mengira dengan membagikan ilmunya kepada seluruh audiens yang hadir, ia mungkin bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Di lain pihak, si orang kedua menceritakan bagaimana temannya itu hanya berhasil mencetak dua angka dalam suatu pertandingan bola basket yang tak terlupakan sewaktu SMU dulu. “Saya ingat waktu itu kita sering memanggilnya si gagang es krim karena dia begitu kurus. Pada saat detik-detik terakhir pertandingan, sebuah bola umpan tiba-tiba hinggap di tangannya. Tetapi sayang ia lalu tersandung tali sepatunya sendiri dan terjatuh.”

“Walaupun demikian, sebelum terjatuh, ia masih sempat menyelamatkan bola tersebut ke temannya yang akhirnya berhasil mengegolkan bolanya. Sesaat kemudian, kepalanya lalu membentur satu benda keras di lapangan. Sepanjang hidupnya, temanku si gagang es krim memang selalu berbakat dalam menciptakan sesuatu yang dramatis. Perbuatannya selalu melebihi penampilannya. Dia memang pahlawanku.”

Kedua orang tersebut sama-sama membicarakan hal yang sama, yaitu teman mereka yang sudah meninggal. Ketika si orang pertama selesai berbicara panjang, penonton tidak memberikan ekspresi apapun. Tetapi, ketika si orang kedua selesai berbicara dengan singkat, terlihat ada beberapa penonton yang meneteskan air matanya dengan ekspresi wajah terharu, senang, dan sedih bercampur aduk. Si orang kedua rupanya lebih sukses menyentuh emosi para audiensnya.

Tak peduli di mana pun Anda berbicara—di depan umum, di acara pemakaman sampai presentasi produk di sebuah perusahaan—Anda sedang menjual diri Anda sendiri dengan berkomunikasi. Supaya bisa menjual, Anda harus “berkomunikasi” dan bukan hanya “berbicara”. Ikutilah tips-tips berikut supaya pesan yang Anda sampaikan bisa diserap dengan baik oleh audiens.

Apa yang Hendak Disampaikan

Pilihlah kata-kata yang hendak digunakan. Lima menit pertama dan lima menit terakhir adalah bagian terpenting. Anda harus membuka, menjelaskan, dan menyimpulkan. Supaya pesan Anda bisa diserap maksimal, maka buatlah kata-kata yang digunakan seminim mungkin.

Sederhanakan

Salah satu kesalahan fatal yang bisa Anda buat adalah meremehkan kepintaran audiens. Risikonya adalah kehilangan perhatian dalam sekejap. Anda tidak bisa menganggap audiens terlalu bodoh, tetapi jangan juga menganggap bahwa audiens sudah tahu atau mengerti benar akan apa yang hendak disampaikan. Sederhanakan, tetapi rincilah poin-poin penting yang akan Anda sampaikan, bahkan jika Anda menyampaikan sesuatu yang sebenarnya sudah dipahami audiens.

Hilangkan kata-kata yang tak perlu. Apa saja yang bisa dianggap tidak perlu? Apa pun yang menyimpang dari topik utama presentasi Anda dan malah bisa membingungkan atau mengundang kontroversi dari audiens. Terkadang hal yang paling sulit adalah menghilangkan kata-kata yang Anda sukai, tetapi sebenarnya tak berhubungan dengan tema utama. Jika tidak ada hubungannya dengan topik, maka lebih baik dihilangkan saja.

Berikan Penekanan

Jangan berharap apa yang Anda sampaikan bisa semuanya diserap oleh audiens. Beberapa hal, bahkan banyak hal, akan lewat begitu saja. Walaupun demikian, mereka pasti bisa mengingat apa tema atau topik utama yang hendak Anda sampaikan, jika Anda memberikan penekanan yang cukup dan tak berlebihan pada presentasi yang disampaikan. Cara terbaik melakukannya adalah dengan menyampaikan tema/topik utama tersebut dengan penekanan, pengulangan, atau disertai contoh-contoh.

Ketika Martin Luther King berbicara di depan Lincoln Memorial, ia mengulang-ulang satu kalimat, “I have a dream”. Bahkan, walaupun Anda tidak ingat lagi apa saja yang ia katakan waktu itu, Anda tetap bisa mengingat jelas tema uniknya, “I have a dream”. Perbedaan dari orang pertama dan orang kedua pada pidato di acara pemakaman di awal tadi sangatlah jelas, yaitu si orang kedua berhasil menekankan tema unik pidatonya, “Temanku si Gagang Es Krim”.

Tunjukkan, Jangan Cuma Ngomong

Kebanyakan dari kita bosan jika “diberitahu”, tetapi lebih tertarik jika “ditunjukkan atau diceritakan”. Perhatikan bahwa memberitahukan dengan detail itu berbeda dengan menceritakan dengan detail. Itulah sebabnya mengapa cerita lebih mudah diingat dan lebih tahan lama dalam ingatan kita.

Selain menceritakan, Anda juga bisa menggunakan bahasa tubuh dan demonstrasi bila perlu, agar bisa lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Contoh, Anda hendak menyampaikan, “Awal tahun ini, penjualan kita menurun sepertiganya.” Dengan disertai gerakan tiga jari yang bergerak turun akan bisa membantu audiens untuk lebih mengingatnya.

Libatkan Audiens

Seringkali bukan “apa” yang disampaikan, tetapi lebih pada “bagaimana” Anda menyampaikannya. Libatkanlah audiens Anda. Buat mereka tertarik dengan “menarik” mereka lebih dekat pada topik utama, contohnya dengan lebih sering menggunakan kata “kita” daripada kata “saya”.

Sesekali ajukan pertanyaan kepada audiens. Walaupun tidak ada yang menjawab, mereka pasti menjawabnya dalam hati dan merasa terlibat dalam presentasi Anda. Mereka bisa turut berpikir, turut mempertimbangkan, bahkan turut merasa dihormati, jika Anda sesekali melihat langsung ke mata mereka. Maka, sebelum memulai presentasi, pastikan Anda mengenal siapa audiens Anda.

Pada contoh di awal artikel ini, si orang pertama mungkin akan bisa lebih menarik perhatian audiens, jika yang hadir adalah kebanyakan dari kalangan akademis atau kedokteran. Tetapi, yang hadir di situ adalah orang-orang yang sedang bersedih atas kematian teman mereka dan berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda. Si orang kedua lebih berhasil menyedot perhatian karena tema yang ia sampaikan lebih bersifat “universal” dan cocok mengena di kalangan audiens yang hadir.

Latihan, Latihan, dan Latihan

Sebenarnya satu hal terburuk yang harus Anda hindari dalam berbicara adalah kegugupan. Rasa gugup merusak segalanya. Satu-satunya cara mengatasi kegugupan adalah dengan latihan, latihan, dan latihan. Anda bisa mencoba apa pun, termasuk mengatur nafas, mengepalkan tangan, minum, sampai menutupi kaki Anda yang gemetar, tetapi itu semua tidak akan banyak menolong. Latihan yang berulang-ulanglah yang bisa menghilangkan kegugupan.

Latihan membuat Anda mampu menghilangkan jeda-jeda yang tak diinginkan dalam berbicara, mengatur intonasi suara saat berbicara (kadang Anda harus berbicara keras, kadang Anda harus berbicara lembut, kadang cepat, kadang lambat). Kombinasi dari semua itu bisa membuat pidato Anda sangat menarik. Semua itu hanya bisa didapat dari “latihan”.

“Berbicara Tidaklah Sama dengan Berkomunikasi”. (Ivan Mulyadi/Majalah MARKETING)

Selasa, 17 Agustus 2010

Stress Mengantri


Ada joke yang mengatakan bahwa orang Inggris, saking sopannya, sekalipun dia sendirian, dia tetap saja berdiri di antrian. Ini rasanya bertolak belakang dengan budaya orang Indonesia, sekalipun banyak orang tapi tak ada yang mau mengantri.

Kalau kita berangkat dengan pesawat Senin pagi melalui terminat F bandara Soekarno Hatta, banyak orang yang stres menghadapi antrian ular (berbelok-belok) yang cukup panjang untuk check-in. Di luar negeri orang terlihat santai mengantri. Sementara di Indonesia, orang yang mengantri celingak-celinguk melihat kapan gilirannya sampai di depan. Ini karena orang Indonesia senang datang mepet dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri.

Beruntung kalau waktu boarding kita masih cukup lama. Tapi kalau kita punya waktu boarding yang sempit, maka antrian seperti ini memang bikin dag-dig-dug. Soalnya semua orang dengan tujuan berbeda-beda dan waktu boarding berbeda-beda, mengantri di line yang sama. Penumpang yang panik biasanya adalah orang yang sebentar lagi mau boarding, sementara di depannya banyak sekali orang yang justru memiliki banyak waktu sebelum boarding.

Memang salah jika Anda datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya Anda sudah harus datang untuk check-in satu jam sebelum boarding. Namun, seperti kebiasaan, beberapa orang senang datang untuk check-in di bawah setengah jam sebelum waktu boarding. Atau, kalaupun bukan kebiasaan, keterlambatan datang bisa gara-gara situasi lalu-lintas yang macet di tol.

Seperti biasa pula, penumpang yang sebentar lagi harus boarding mulai kesal dan marah karena antriannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas jadi panik dan akhinya membuka satu antrian lagi untuk mereka. Keputusan yang sepertinya tepat! Masalah penumpang yang hampir telat ini terpecahkan! Mereka puas karena bisa terbang tepat waktu!

Namun sayangnya hal ini tidak terjadi pada mereka yang masih mengantri, karena mereka diperlakukan tidak adil. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tapi kenapa prioritas diberikan kepada orang yang telat mengantri? Lagipula orang yang senang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu mendapat prioritas untuk memotong antrian. Sistem yang kurang baik, akhirnya bisa membuat orang yang “baik” menjadi “tidak baik”!

Kebanyakan orang di Indonesia tidak mau mengantri karena tidak ada sistem yang baik untuk mengantri. Padahal sistem antrian adalah “disiplin ilmu” tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian ular dalam teori pelayanan punya kelebihan dan kekurangan. Orang yang mengantri akan teratur dengan sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular juga membuat baris antrian seolah tidak panjang. Ini berbeda dengan antrian lurus yang membuat barisnya menjadi terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian, maka orang yang ada di antrian yang lebih lambat bergerak biasanya menjadi tidak puas.

Namun antrian berputar seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua dibatasi oleh waktu bepergian yang berbeda-beda. Akibatnya sistem antrian yang kita buat menjadi tidak berguna.

Mengelola antrian memang menjadi sesuatu yang kompleks. Semakin banyak pelanggan Anda, maka Anda harus memiliki sistem antrian yang baik. Mereka yang menjadi pelanggan sebuah service provider yang punya pelanggan sedikit akan lebih puas, dibandingkan pelanggan pada service provider yang punya pelanggan banyak. Saya bisa membayangkan, Telkomsel dengan pelanggan 75 juta pasti akan menghadapi masalah yang tidak selesai-selesai dalam soal antrian. Sementara mereka mulai memperbaiki sistem antrian, jutaan pelanggan lagi sudah muncul setiap tahun.

Di Wikipedia, sejarah munculnya teori antrian adalah sekitar tahun 1900-an. Perhitungan matematika dibutuhkan untuk mengatur trafik masuk di public switched telephone network. Dengan demikian, tidak ada saluran yang kosong sementara ada saluran lain yang justru penuh sesak. Sama halnya dengan arus barang masuk-keluar, perhitungan matematis diperlukan untuk mengatur agar barang bisa ter-deliver tepat waktu. Selain itu ada beberapa pengaturan yang bersifat customised untuk beberapa hal. Seperti antrian untuk hal-hal yang diprioritaskan, antrian untuk hal-hal yang bisa ditangani cepat, dan lain-lain. Semuanya butuh perhitungan matematis.

Sekarang ini ada mesin kinetic yang bisa mengatur antrian pelanggan berdasarkan kebutuhan. Mereka yang perlu mendapatkan quick service mendapatkan nomor antrian berbeda dibandingkan mereka yang tergolong normal service. Demikian pula dengan mereka yang tergolong pelanggan reguler dan priority akan diperlakukan berbeda dari sisi waktu. Mesin ini juga bisa menghitung estimasi waktu Anda untuk mengantri. Pada kondisi dimana Anda memiliki banyak segmen antrian maka penggunaan IT memang sudah tidak terelakkan lagi.

Cara lain tentunya adalah menambah jenis saluran pelayanan. Percayalah, sebaik apapun Anda membuat desain antrian, pasti akan menimbulkan ketidakpuasan, karena pada dasarnya manusia semakin tidak mau mengantri. Beruntung ada BlackBerry yang membuat orang mungkin betah mengantri karena bisa chatting dan mengirim e-mail sambil mengantri. Namun kesenangan ini juga bisa berakhir pada saat dia menyadari bahwa antrian di depannya tidak bergerak.

Oleh karena itu buatlah saluran pelayanan non fisik yang personal dan relatif murah seperti melalui handphone, website, mesin, dan lain-lain. Biarkan pelanggan bebas menentukan kapan harus mendapatkan pelayanan dan tidak tergantung orang di depan mereka. Tantangannya, budaya orang Indonesia memang masih belum sreg kalau tidak datang ke layanan fisik dan bertatap muka. Tapi antrian fisik sebenarnya bisa menjadi “hukuman” bagi pelanggan yang tidak pernah memakai rencana atau tidak mau memanfaatkan saluran lain yang lebih murah. Lama-kelamaan, mereka pun akan merasa tidak nyaman dan datang tepat waktu. Atau kalau tidak, memilih santai di rumah serta memakai telepon atau internet untuk mendapatkan pelayanan lebih awal.

Sumber: Rachmat Susanta


Rabu, 23 Juni 2010

The Word of Kid’s Mouth (Wokim)

Tradisi menggunakan merek dalam keluarga, seringkali diturunkan dari romantisme masa lalu orang tua, kemudian dijaga oleh program eksperiensial yang mensinergikan antargenerasi. Sayangnya, proses ini seringkali terlupakan ketika sebuah merek melakukan rebranding ataupun positioning. Jangankan dalam proses rebranding, dalam keseharian pun sangat sedikit merek yang menjaga keberlangsungan tradisi merek dalam sebuah keluarga, dengan menggunakan brand PR. Paling banter, merek-merek menjaga tradisi ini melalui iklan yang mengingatkan, bahwa merek ini sudah digunakan sejak lama oleh para orang tua. Sangat jarang yang menurunkannya hingga level one on one, dimana konsumen secara langsung menjaga tradisi merek berdasarkan belief yang mereka bangun sendiri.

Itulah yang tampaknya terlewatkan oleh KFC ketika melakukan repositioning mereknya menjadi restoran remaja—dari yang semula restoran keluarga. Setidaknya, hal itu yang terjadi pada Ghiva, putra saya kelas enam SD. Karena merasa tidak dipercaya saat menelpon 14022, Ghiva menggunakan hak boikot sebagai anak untuk tidak lagi ke KFC. Padahal, KFC buat saya adalah merek penuh kenangan selama lebih dari 18 tahun. Menariknya lagi, Ghiva menyebarkan kekecewaan tersebut kepada teman-temannya di kelas. Dan yang paling menarik, ternyata teman-temannya mengalami keluhan yang sama. Jadilah sudah, mereka sekelas sepakat untuk tidak lagi memesan KFC. Terpaksa deh, saya hanya bisa bersama istri atau teman lain, saat akan menikmati romantisme merek KFC.

Anak-anak memang seringkali menjadi prioritas utama, ketika sebuah merek menyasar keluarga—karena kemampuannya mempengaruhi keluarga memang luar

biasa kuat. Apalagi untuk keluarga generasi 80-an yang memiliki kesadaran untuk memberikan kebebasan berpendapat pada anak-anak mereka. Sayangnya, masih sedikit di antara kita yang sadar betul betapa dahsyat proses The Word of Kid’s Mouth (Wokim) di kalangan sesama mereka. Dan juga, masih jarang di antara kita yang melihat bahwa Wokim memiliki peran penting dalam menjaga dan menciptakan sebuah tradisi merek.
Tradisi dalam Transisi.

Salah satu proses tradisi penggunaan merek di dalam keluarga seringkali diuji pada saat keluarga tersebut mengalami transisi, baik transisi ekonomi, sosial, ataupun pertumbuhan jumlah anggota keluarga. Keluarga muda membutuhkan furniture dengan harga terjangkau, dan mobil pertamanya berupa mobil tangan kedua. Olympic dan Mobil88 mengambil peran di situ. Begitu halnya ketika keluarga tersebut menjadi lebih makmur. Perubahan merek pun kemungkinan akan terjadi, jika merek tersebut tidak mampu mewakili statusnya yang baru. Itulah sebabnya, Olympic mengembangkan Albatros, Toyota memiliki Avanza. Beberapa merek lain pun mengembangkan beberapa varian untuk menangkap transisi konsumen ini.

Persoalannya adalah bagaimana menjadikan transisi tradisi ini agar konsumen tidak berpindah ke merek lain. Agar konsumen Olympic pasti ke Albatros, agar konsumen mobil tangan kedua membeli Avanza, kemudian naik membeli Innova, dan produk-produk berikutnya. Nah, untuk beberapa proses transisi konsumen, Wokim memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menjaga transisi tersebut, sehingga konsumen tetap menggunakan merek kita.

Sekali lagi, selama ini, kita masih melihat peran dalam kebutuhan perilaku membeli, apakah anak tersebut puas atau tidak dengan produk kita? Paling banter, kita melihat perilaku mereka dalam mengonsumsi produk, dan berapa uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan makanannya. Tapi, bagaimana mereka saling memengaruhi, rasanya masih sedikit menjadi pertimbangan dalam mengembangkan “potensi” anak untuk mengangkat merek kita.

Padahal, dengan bargaining position anak-anak sekarang yang kuat terhadap orang tuanya, The Word of Kid’s Mouth (WOKIM) merupakan sarana ampuh untuk menjaga tradisi merek di sebuah keluarga. Atau sebaliknya, Wokim juga efektif untuk membentuk tradisi baru merek dalam sebuah keluarga. Ketika sebuah keluarga begitu solid dengan sebuah tradisi merek, maka kunci untuk mengubah ataupun mempertahankannya adalah melalui Wokim.

Saat kejadian KFC, sebetulnya pemicunya sederhana, pelayan KFC meminta sang anak untuk memberikan gagang telepon pada orang tuanya. Hampir pasti, kebijakan ini dikeluarkan oleh KFC karena seringnya anak-anak “mempermainkan” KFC melalui nomor hotline mereka. Sehingga, KFC merasa dirugikan dengan ulah tersebut.

Saya tidak tahu persis, berapa kerugian yang dialami KFC saat ditelpon iseng oleh anak-anak yang tidak bertanggung jawab. Tapi, saya yakin bahwa kerugian yang dialami saat membuat kebijakan baru dengan “tidak percaya” pada anak-anak, pasti nilainya jauh lebih besar ketimbang kerugian akibat telpon iseng anak-anak. Apalagi jika kita berbicara jangka panjang, bahwa anak-anak adalah konsumen potensial di masa mendatang. Plus, kompetitor utama KFC memilih untuk tetap “mendengarkan” suara anak-anak, sekalipun merek tersebut juga mendapatkan perlakuan yang sama.
One on One Exploration.

Seberapa jauh kedahsyatan suara anak, memang memiliki perbedaan karakteristik berdasarkan lingkungan sosial anak itu sendiri. Bila berbicara apakah Wokim anak-anak sangat cocok untuk Blackberry, jawabannya iya untuk anak-anak yang hidup di lingkungan kelas menengah ke atas. Tapi, bila kita bercerita untuk Leo, makanan kecil produksi Garudafood, sudah pasti hampir semua tingkatan anak-anak akan menjadi Wokim yang hebat.

Hanya memang, mesti diawasi juga seberapa jauh Wokim akan berpengaruh terhadap kebijakan sebuah merek. Maka, tidak heran kalau beberapa merek besar juga mulai mempertimbangkan Wokim dalam setiap pengambilan keputusan merek. Selain mampu mencegah dampak negatif, Wokim juga bisa digunakan untuk membangun fondasi menjaga tradisi penggunaan merek di sebuah keluarga.

Dan mengingat anak bukan merupakan subjek yang mudah untuk digali, maka penggalian isi benak anak-anak juga tidak bisa dilakukan dengan menggunakan penelitian normatif, seperti yang dilakukan untuk orang dewasa. Anak yang sedang berada di masa perkembangan pada tahap eksplorasi dunia, menjadikan diri mereka hanya bisa didapatkan isi benaknya jika dieksplorasi melalui program stimulus respon.
Kognitif anak belum sepenuhnya bisa dieksplorasi dengan menggunakan kuesioner seperti halnya orang dewasa. Maka, proses one on one exploration akan jauh lebih efektif. Apalagi jika dilakukan oleh end user sendiri, agar kita tahu persis reaksi alami sang anak. Karena, reaksi alami memang harus langsung ditangkap, sulit untuk dituliskan dalam bentuk kata-kata.

Sederhananya, Wokim akan cepat kita dapatkan, jika kita langsung melihat reaksi anak terhadap stiumulus merek. Maka, harus kita yang berada di sekitar anak. Repot? Rasanya tidak. Malah bisa jadi sangat menyenangkan. Bukankah anak-anak selalu memberikan inspirasi yang tidak terduga? Selamat bergaul dengan anak-anak untuk mendapatkan Wokim.

Diambil dari Majalah Marketing


Kamis, 15 April 2010

STRATEGY PERANG IKLAN DAN MANFAATNYA


Menurut Wikipedia, Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (Dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri, hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia", hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.


Namun kata Perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat, yang mempopulerkan hal ini adalah para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum perang berarti "pertentangan". Ada yang namanya perang dingin, perang politik, perang ekonomi, perang saudara, perang dunia, perang iklan dan masih banyak lagi.

Penyebab terjadinya perang di antaranya adalah:

  • Perbedaan ideologi
  • Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan
  • Perbedaan kepentingan
  • Perampasan sumber daya alam (minyak, hasil pertanian, dll)


Aneka jenis perang diatas bukan ranah kita untuk didiskusikan lebih lanjut, akan tetapi perang yang menjadi bahasan menarik di bidang marketing selain perang harga adalah perang iklan. Apa itu perang iklan? Berdasarkan definisi diatas adalah kondisi permusuhan antara dua atau lebih kelompok manusia (lembaga) untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan melalui media periklanan.


Sedangkan dari sisi strategy, maka dapat dikatakan bahwa strategy perang yang sesungguhnya seringkali di praktikan dalam perang-perang yang lain. Misalnya Strategi perang Sun Tzu dalam aplikasi bisnis. Yang menjadi medan perang adalah pangsa pasar produk/jasa anda. Yang menjadi jenderal perang adalah anda sendiri kalau anda seorang yang terlibat marketing. Dan musuh perang adalah saingan bisnis yang produknya/ jasanya sama dengan anda.

Sun Tzu mengatakan bahwa dalam hasil setiap peperangan selalu ditentukan oleh lima faktor konstan, yaitu:

  • Hukum moral (loyalitas atau komitmen) para prajurit yang siap mati.
  • Langit yang menunjukkan keadaan alam yang tidak bisa diubah, seperti siang-malam, panas-dingin.
  • Bumi yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan, keadaan medan pertempuran yang dihadapi, kemungkinan hasil peperangan.
  • Pimpinan sebagai simbol karakter dan sifat dari teladan yang baik.
  • Metode dan Disiplin yang perlu dipahami dalam menyususun strategi perang dan konsekuensi dari pelaksanaan strategi tersebut.


Ajaran Sun Tzu tidak hanya dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah militer, tetapi juga dipergunakan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, corporate strategy, human resource, finance, bahkan sampai dipakai sebagai cara untuk mendidik anak juga. Menarik sekali mengupas strategy perang Sun Tzu (akan di fokuskan pada kesempatan lain)

Bagaimana dengan perang iklan?

Perang iklan disini hanya di fokuskan untuk bidang marketing. Sama dengan perang dalam arti sesungguhnya, perang iklan juga terjadi, yang mungkin saja disebabkan oleh:

  • Perbedaan ideologi bisnis
  • Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan (target market)
  • Perbedaan kepentingan dalam menggaet konsumen
  • Perampasan persepsi (konsumen di buat percaya oleh bujuk rayu dalam iklan itu)


Sebagai pemasar, tentu Anda sudah mengerti bahwa di dalam bauran pemasaran terhadap empat hal, yaitu product, price, place, promotion (4P). Jadi, promosi menjadi hal penting agar produk yang dipasarkan dengan banderol harga tertentu dan dipajang di tempat tertentu diketahui target pasar dan laku. Akibat persaingan pasar yang sengit, sudah jelas pengemasan iklan yang efektif akan semakin rumit. Maka tak dimungkiri terjadilah perang harga, yang kemudian diikuti pula dengan perang iklan. (Darmadi Durianto dalam majalah Marketing)



Teori mengenai iklan terhadap penjualan dan pangsa pasar tidak perlu di bahas lebih lanjut (alias silahkan dicari sendiri di buku-buku literatur), akan tetapi di lapangan perang iklan ini dilakukan oleh marketer dengan sangat terang-terangan dan cenderung mengangkangi etika bisnis. Sebagai contoh adalah perang iklan operator seluler. "Perang iklan operator sebaiknya colling down dulu, kalau berlebihan juga tidak baik, mengingat kondisi sekarang ini," ujar Gatot S. Dewa Broto, Kabag Humas Ditjen Postel kepada detikINET.


Imbauan untuk berhemat itu juga sekaligus mandat dari Menkominfo Mohammad Nuh. Karena jika terus menerus tetap dilakukan, dikhawatirkan malah akan memberikan beban ke konsumen. "Memang imbauan ini tidak dilakukan secara resmi hanya imbauan omongan saja," lanjutnya. Salah satu sahabat di multiply :

http://mayasantoro.multiply.com/journal/item/6

Mengatakan bahwa Perang Tarip Celular makin menggila dan makin gak etis.. , coba lihat di foto itu...benar2 makin terang terangan, padahal semuanya menyesatkan konsumen.

Akhir-akhir ini si cantik Agnes Monica banyak tampil di jalanan, di perempatan, di layar kaca dan di banyak media cetak lewat iklan terbaru 3 (baca Tri) yang ngasih tau kalo sekarang BlackBerry-an pake 3 murah banget. Bahkan si Agnes ini kasih janji
Agnes:
Yang nemu BlackBerry-an lebih murah dari puny ague, gue jadiin pacar
Gila kan? Siapa yang nolak ama Agnes?? Orang bodoh aja yang gak mau. ternyata operator sebelah sudah ga mo pacaran lagi, tapi monikah gara-gara ada BlackBerry yang lebih murah tanpa tapi. Ngamatin persaingan tarif BlackBerry ini menarik juga, pas coba selancar ke Kompas.com nemu iklan dari 3 dan Indosat yang sama-sama mengklaim kemurahan tarifnya. Nampaknya Indosat sengaja menaruh banner-nya di bawahnya persis banner kepunyaan 3.


Selain operator, perang iklan juga ramai di lakukan oleh perusahaan otomotif (mobil dan motor), makanan cepat saji, handphone, departemen store, dan masih banyak lagi. Di Indonesia memang masih belum seberapa parah dibandingkan di luar negeri, ternyata menurut Darmadi perang iklan yang mungkin sudah melegenda sepanjang masa adalah yang dilakukan Coca-Cola versus Pepsi. Sama-sama minuman berkarbonasi, sama-sama berkualitas, dan sama-sama memperjuangkan pasar yang sama. Dan sama-sama dilakukan dengan cara yang sungguh kasar dan menggelikan.


Ada tayangan iklan yang menceritakan seorang anak kecil mendekati mesin konter penjualan minuman otomatis. Lalu ia memasukkan koin ke mesin itu dan keluarlah sekaleng Coca-Cola. Apa yang anak itu lakukan kemudian? Ia menaruh Coca-Cola itu di kaki kirinya. Setelah itu ia memasukkan koin ke mesin kembali untuk mendapatkan sebuah Coca-Cola kembali. Coca-Cola kali ini ia taruh di kaki kanannya. Siapa yang menyangka kalau anak kecil tersebut, menurut cerita iklan itu, membeli dua kaleng Coca-Cola untuk dijadikan pijakan agar ia sampai pada bilik Pepsi. Ia memasukkan koin ke bilik Pepsi dan mendapatkannya, lantas meninggalkan Coca-Cola yang diinjaknya tadi. Sungguh terang benderang “kekerasan” Pepsi terhadap Coca-Cola.


Kesimpulan:

Perang iklan dengan cara-cara yang mengkhawatirkan sebaiknya dihentikan saja, karena apabila diteruskan akan menambah sakit hati pihak yang terlibat. Yang menjadi korban tidak akan berdiam diri, tentu saja akan membalas dengan iklan yang lebih gila, dan sampai kapan akan berakhir. Konsumen saat ini bukan konsumen yang bodoh dan mudah untuk dikibuli sedemikian rupa. Justru pelayanan dan memelihara konsumen yang sudah setia jauh lebih penting daripada sibuk menjatuhkan pesaing dengan iklan yang menyakitkan.


Ditulis iseng comot sana comot sini sambil merampungkan tesis pemasaran di Universitas Udayana Denpasar (buat yang dicomot tulisannya jangan marah ya) hehehehe

Denpasar, 16 April 2010

Kisah Sukses Seorang Sales Superstar


Dunia marketing dewasa ini mengalami salah satu periode yang paling menarik dalam sejarah. Dengan semakin bertumbuhnya sarana promosi online, buzz marketing, dan pesan multimedia, perusahaan memiliki lebih banyak cara memasarkan produk dan jasa dibandingkan sebelumnya. Seorang salesperson kini membutuhkan lebih banyak dari sekadar sebuah setelan yang rapi, kemampuan yang baik, dan sebuah senyuman. Salespeople membutuhkan sebuah rangkaian rencana, inovasi, kecerdasan, penguasaan teknologi, dan dedikasi.

Ralph. R. Roberts adalah seorang top real estate salesman. Ia sangat disegani dalam dunia real estate dan pembiayaan perumahan, seorang pembicara yang sangat andal, sales coach, dan juga konsultan.

Dalam kurun waktu satu tahun selama periode karier yang sangat luar biasa sebagai seorang salesman real estate, Ralph R. Roberts berhasil menjual lebih dari 600 properti—ratusan kali lebih banyak dari rata-rata salesman. Dalam Walk Like a Giant, Sell Like a Madman, master pemasaran legendaris ini menunjukkan kepada Anda bagaimana memperoleh kesuksesan besar seperti itu, yang telah membuatnya menjadi seorang sales superstar.

Ada saatnya ketika Roberts berjuang keras untuk setiap penjualan yang ia lakukan, sama seperti sales yang lainnya. Namun, melalui tujuh langkah, ia mentransformasi dirinya dari orang biasa menjadi luar biasa. Kini, ia akan membimbing Anda dengan cara yang sama untuk mendapatkan peningkatan profesional, menunjukkan kepada Anda bagaimana memiliki sikap positif yang diperlukan, mengadopsi filsafat entrepreneurial, menggali lebih dalam dan lebih baik referral, dan menggenjot kemampuan pembaca.

Buku edisi kedua ini pun telah di-update dan ditambah dengan segala perubahan yang terjadi baru-baru ini, termasuk teknologi baru dan peluang online bagi pengembangan karier Anda, reputasi Anda, dan banyak sekali buzz.

Pada bagian awal buku ini dibahas karakteristik seorang salesperson sukses dan tujuh langkah untuk menjadi salesperson yang sukses, yaitu: jadilah seorang salesperson, bukan penerima perintah; dapatkan bekal pendidikan setinggi mungkin; keluarkan uang untuk menghasilkan uang; ikuti jejak seorang yang sukses; bina hubungan baik; kuasai sarana yang bisa Anda gunakan; dan selalu konsisten dalam menjalankan ini semua. Langkah-langkah ini bermanfaat bukan hanya untuk kehidupan profesional, melainkan juga berguna dalam kehidupan pribadi, dan kesuksesan yang sebenarnya harus memperhatikan kedua sisi tersebut.

Dalam bab-bab awal diuraikan mengenai bagaimana memotivasi diri untuk meraih target dan mengubah diri Anda dari seorang salesperson menjadi seorang entrepreneurial salesperson. Roberts menguraikan bagaimana menentukan target; menentukan deadlines yang realistis; dan menggapai target melalui beberapa tahapan; memilih rewards yang akan memotivasi diri Anda; dan membuat visi untuk pencapaian di masa mendatang.

Setiap hari, salespeople memutus peluang mendapatkan pasar potensial karena mereka tidak mampu atau tidak mau berhubungan dengan pelanggan atau klien dengan latar belakang yang berbeda. Oleh karenanya, Roberts menyarankan agar kita harus lebih sensitif terhadap perbedaan dalam lahan pemasaran kita, dan mencari informasi serta panduan yang diperlukan untuk menggarap demografi pelanggan yang berbeda-beda.

Roberts menyarankan agar kita berhenti berburu untuk mencari prospek baru dan mulai bertani. Dengan bertransformasi dari pemburu menjadi petani, Anda akan mengubah seluruh gaya hidup Anda. Alih-alih tersiksa dengan pencarian yang tak kunjung dapat, Anda disarankan untuk membangun aliran referral yang tetap dan akan menghidupi Anda sepanjang tahun. Cara mudah untuk menggambarkan ini semua adalah bahwa Anda disarankan untuk mengubah diri dari seorang salesperson menjadi lebih dari sekadar teman bagi pelanggan dan klien Anda. Singkat kata, berhentilah menjual dan mulailah membina hubungan baik.

Setiap bab dalam buku ini ditutup dengan sebuah checklist untuk membantu Anda berjalan dalam jalur yang benar dan untuk memberikan sarana evaluasi langkah-langkah Anda.

Buku ini menyajikan gagasan-gagasan yang sudah terbukti sukses bagi para praktisi marketing. Buku yang cukup mudah dipahami, praktikal dengan banyak cerita menarik, dan tidak mengada-ada. Namun demikian, oleh karena Ralph Roberts adalah tipikal seorang Amerika yang patriotik, ia terkesan terlalu banyak berbicara mengenai dirinya sendiri. Mungkin timbul anggapan bahwa buku ini adalah sarana promosi bagi dirinya sendiri.

dikutip seutuhnya dari Majalah Marketing:
http://www.marketing.co.id/2010/04/01/kisah-sukses-seorang-sales-superstar/#comment-276

Minggu, 28 Februari 2010

MAKNA KEPUASAN PELANGGAN

(Ini hanyalah tulisan yang dipergunakan untuk mendukung tesis saya, dan tidak semuanya masuk dalam tesis itu. Karena sayang jika terbuang sehingga saya masukkan ke blog agar dapat dibaca oleh orang lain)


Siapa pun yang terlibat dalam rangkaian bisnis baik itu internal perusahaan mulai dari Top Manajemen hingga ke Room Boy, harus mempunyai rasa tanggung jawab dalam diri mereka mengenai Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan). Terlebih jika bertanggung jawab di Bidang Marketing, harus lebih detail memahami apa-apa saja yang menjadi kemauan pelanggan.
Semua perusahaan dan pelaku bisnis terkemuka saat ini tidak ada satupun yang melupakan konsep Kepuasan Pelanggan, karena mereka menyadari bahwa pelanggan yang puas akan membawa dampak positif untuk bisnis mereka di masa datang. Beberapa dari mereka tidak penting untuk mengetahui teori Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan), Customer Behavior (Perilaku Konsumen) maupun Complainer and Non-complainer. Akan tetapi mereka menyadari sepenuhnya bahwa dengan memupuk kepuasan pelanggan secara langsung akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Ini adalah sebuah logika bisnis yang tentu saja tidak lagi perlu diperdebatkan.

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari pemasok, produsen atau penyedia jasa. Value ini bisa berasal dari produk, pelayanan, system dan sesuatu yang bersifat emosi. Value ini dapat berupa produk yang berkualitas, harga yang menarik maupun pelayanan yang menyenangkan.

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa. Adakalanya, pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman kepada pelanggan lain (getok tular). Ini akan menjadi referensi bagi perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, baik pelanggan maupun produsen, akan sama-sama diuntungkan apabila kepuasan terjadi. Dengan hubungan ini, jelaslah bahwa kepuasan pelanggan haruslah menjadi salah satu tujuan dari setiap perusahaan.

Bagaimana teorinya.
Satisfaction adalah kata dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan. Jadi produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk dan jasa yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari oleh konsumen sampai pada tingkat cukup. Dalam konteks teori Consumer Behavior, kepuasan lebih banyak didefiniskkan dari perspektif pengalaman konsumen setelah mengonsumsi atau menggunakan suatu produk atau jasa. Salah satu definisi yang disampaikan oleh Richard Oliver adalah “Kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen. Kepuasan adalah hasil dari penilaian konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan dimana tingkat pemenuhan ini bisa lebih atau kurang”

Tjiptono, dkk., memberi pengertian bahwa kualitas mencerminkan semua dimensi penawaran produk yang menghasilkan manfaat (benefit) bagi pelanggan. Istilah nilai (value) sering kali digunakan untuk mengacu pada kualitas relatif suatu produk dan jasa yang menyertainya dan dikaitkan dengan harga produk yang bersangkutan.

Sedangkan Kotler mengemukakan pengertian service (jasa/layanan) adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud atau tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan.

Albrecht dalam Lovelock mendefinisikan pelayanan sebagai suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis.

Lewis dan Booms mengartikan bahwa kualitas layanan bisa diartikan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspekstasi pelanggan. Sehingga berdasarkan definisi ini, kualitas layanan ditentukan oleh kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Dengan kata lain, faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan adalah layanan yang diharapkan pelanggan (expected service) dan persepsi terhadap layanan (perceived service).

Parasuraman, dkk menjelaskan bahwa apabila perceived service sesuai dengan expected service, maka kualitas layanan bersangkutan akan dinilai baik atau positif. Jika perceived service melebihi expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service lebih jelek dibandingkan expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan negative atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya kualitas layanan bergantung pada kemampuan perusahaan dan staffnya memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.

Secara lebih praktis, kepuasan pelanggan adalah:
Pertama, persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Oleh karena itu pelanggan tidak akan puas apabila pelanggan masih memiliki persepsi bahwa harapan terhadap produk dan jasa belum terpenuhi. Pelanggan akan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan.

Kedua, kepuasan pelanggan sangat bergantung pada harapan pelanggan. Oleh karena itu, strategy kepuasan pelanggan haruslah didahului dengan pengetahuan yang detail dan akurat terhadap harapan palanggan. Harapan pelanggan kadangkala dapat dikontrol oleh perusahaan. Hal ini menjadi tugas Tim Marketing untuk mengukur seberapa besar harapan pelanggan terhadap produk atau jasa yang telah dipersepsikan oleh pelanggan.

Finally. Kepuasan pelanggan adalah hasil akumulasi dari konsumen atau pelanggan dalam menggunakan produk dan jasa. Oleh karena itu, setiap transaksi atau pengalaman baru, akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Dengan demikian, kepuasan pelanggan mempunyai dimensi waktu karena hasil akumulasi. Karena itu, siapapun yang terlibat dalam urusan kepuasan pelanggan, maka mereka melibatkan diri dalam urusan jangka panjang. Upaya memuaskan pelanggan adalah pengalama panjang yang tidak mengenal batas akhir.
Meminjam judul lagunya Kerispatih ”Tak lekang oleh waktu”


Daftar Bacaan Acuan:
Irawan, Handi., 2008, “10 Prinsip Kepuasan Pelanggan”, Edisi Kesepuluh, Jakarta, Elex Media Komputindo.
Lovelock, C.H., 2004, “Product Plus: How Product + Service = Competitive Advantage”, New York, McGraw-Hill, Inc.
Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, L.L. Berry, 1985, “A Conceptual Model of Service Quality and its Implications for Future Research”, Journal of Marketing 49, page 48.
__________________________________________, 1988, “Servqual: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality”, Cambridge, Mass: Marketing Science Institute
Tjiptono, Fandy, 2008, “Service Management”, Edisi Pertama, Yogyakarta, Andi.
Tjiptono, Fandy., Gregorius Chandra, Dadi Adriana, 2008, “Pemasaran Strategik”, Edisi Pertama, Yogyakarta, Andi.
Majalah “Marketing” edisi No: 05/IX/MEI/2009 dengan topic “Service Quality or Die”