Itulah yang tampaknya terlewatkan oleh KFC ketika melakukan repositioning mereknya menjadi restoran remaja—dari yang semula restoran keluarga. Setidaknya, hal itu yang terjadi pada Ghiva, putra saya kelas enam SD. Karena merasa tidak dipercaya saat menelpon 14022, Ghiva menggunakan hak boikot sebagai anak untuk tidak lagi ke KFC. Padahal, KFC buat saya adalah merek penuh kenangan selama lebih dari 18 tahun. Menariknya lagi, Ghiva menyebarkan kekecewaan tersebut kepada teman-temannya di kelas. Dan yang paling menarik, ternyata teman-temannya mengalami keluhan yang sama. Jadilah sudah, mereka sekelas sepakat untuk tidak lagi memesan KFC. Terpaksa deh, saya hanya bisa bersama istri atau teman lain, saat akan menikmati romantisme merek KFC.
Anak-anak memang seringkali menjadi prioritas utama, ketika sebuah merek menyasar keluarga—karena kemampuannya mempengaruhi keluarga memang luar
Tradisi dalam Transisi.
Salah satu proses tradisi penggunaan merek di dalam keluarga seringkali diuji pada saat keluarga tersebut mengalami transisi, baik transisi ekonomi, sosial, ataupun pertumbuhan jumlah anggota keluarga. Keluarga muda membutuhkan furniture dengan harga terjangkau, dan mobil pertamanya berupa mobil tangan kedua. Olympic dan Mobil88 mengambil peran di situ. Begitu halnya ketika keluarga tersebut menjadi lebih makmur. Perubahan merek pun kemungkinan akan terjadi, jika merek tersebut tidak mampu mewakili statusnya yang baru. Itulah sebabnya, Olympic mengembangkan Albatros, Toyota memiliki Avanza. Beberapa merek lain pun mengembangkan beberapa varian untuk menangkap transisi konsumen ini.
Persoalannya adalah bagaimana menjadikan transisi tradisi ini agar konsumen tidak berpindah ke merek lain. Agar konsumen Olympic pasti ke Albatros, agar konsumen mobil tangan kedua membeli Avanza, kemudian naik membeli Innova, dan produk-produk berikutnya. Nah, untuk beberapa proses transisi konsumen, Wokim memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk menjaga transisi tersebut, sehingga konsumen tetap menggunakan merek kita.
Sekali lagi, selama ini, kita masih melihat peran dalam kebutuhan perilaku membeli, apakah anak tersebut puas atau tidak dengan produk kita? Paling banter, kita melihat perilaku mereka dalam mengonsumsi produk, dan berapa uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan makanannya. Tapi, bagaimana mereka saling memengaruhi, rasanya masih sedikit menjadi pertimbangan dalam mengembangkan “potensi” anak untuk mengangkat merek kita.
Padahal, dengan bargaining position anak-anak sekarang yang kuat terhadap orang tuanya, The Word of Kid’s Mouth (WOKIM) merupakan sarana ampuh untuk menjaga tradisi merek di sebuah keluarga. Atau sebaliknya, Wokim juga efektif untuk membentuk tradisi baru merek dalam sebuah keluarga. Ketika sebuah keluarga begitu solid dengan sebuah tradisi merek, maka kunci untuk mengubah ataupun mempertahankannya adalah melalui Wokim.
Saat kejadian KFC, sebetulnya pemicunya sederhana, pelayan KFC meminta sang anak untuk memberikan gagang telepon pada orang tuanya. Hampir pasti, kebijakan ini dikeluarkan oleh KFC karena seringnya anak-anak “mempermainkan” KFC melalui nomor hotline mereka. Sehingga, KFC merasa dirugikan dengan ulah tersebut.
Saya tidak tahu persis, berapa kerugian yang dialami KFC saat ditelpon iseng oleh anak-anak yang tidak bertanggung jawab. Tapi, saya yakin bahwa kerugian yang dialami saat membuat kebijakan baru dengan “tidak percaya” pada anak-anak, pasti nilainya jauh lebih besar ketimbang kerugian akibat telpon iseng anak-anak. Apalagi jika kita berbicara jangka panjang, bahwa anak-anak adalah konsumen potensial di masa mendatang. Plus, kompetitor utama KFC memilih untuk tetap “mendengarkan” suara anak-anak, sekalipun merek tersebut juga mendapatkan perlakuan yang sama.
One on One Exploration.
Seberapa jauh kedahsyatan suara anak, memang memiliki perbedaan karakteristik berdasarkan lingkungan sosial anak itu sendiri. Bila berbicara apakah Wokim anak-anak sangat cocok untuk Blackberry, jawabannya iya untuk anak-anak yang hidup di lingkungan kelas menengah ke atas. Tapi, bila kita bercerita untuk Leo, makanan kecil produksi Garudafood, sudah pasti hampir semua tingkatan anak-anak akan menjadi Wokim yang hebat.
Hanya memang, mesti diawasi juga seberapa jauh Wokim akan berpengaruh terhadap kebijakan sebuah merek. Maka, tidak heran kalau beberapa merek besar juga mulai mempertimbangkan Wokim dalam setiap pengambilan keputusan merek. Selain mampu mencegah dampak negatif, Wokim juga bisa digunakan untuk membangun fondasi menjaga tradisi penggunaan merek di sebuah keluarga.
Dan mengingat anak bukan merupakan subjek yang mudah untuk digali, maka penggalian isi benak anak-anak juga tidak bisa dilakukan dengan menggunakan penelitian normatif, seperti yang dilakukan untuk orang dewasa. Anak yang sedang berada di masa perkembangan pada tahap eksplorasi dunia, menjadikan diri mereka hanya bisa didapatkan isi benaknya jika dieksplorasi melalui program stimulus respon.
Kognitif anak belum sepenuhnya bisa dieksplorasi dengan menggunakan kuesioner seperti halnya orang dewasa. Maka, proses one on one exploration akan jauh lebih efektif. Apalagi jika dilakukan oleh end user sendiri, agar kita tahu persis reaksi alami sang anak. Karena, reaksi alami memang harus langsung ditangkap, sulit untuk dituliskan dalam bentuk kata-kata.
Sederhananya, Wokim akan cepat kita dapatkan, jika kita langsung melihat reaksi anak terhadap stiumulus merek. Maka, harus kita yang berada di sekitar anak. Repot? Rasanya tidak. Malah bisa jadi sangat menyenangkan. Bukankah anak-anak selalu memberikan inspirasi yang tidak terduga? Selamat bergaul dengan anak-anak untuk mendapatkan Wokim.
Diambil dari Majalah Marketing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk bahan diskusi dan memperdalam materi, silahkan berkomentar apapun juga sehubungan dengan artikel diatas, demi kebaikan bidang Marketing