Ada joke yang mengatakan bahwa orang Inggris, saking sopannya, sekalipun dia sendirian, dia tetap saja berdiri di antrian. Ini rasanya bertolak belakang dengan budaya orang Indonesia, sekalipun banyak orang tapi tak ada yang mau mengantri.
Kalau kita berangkat dengan pesawat Senin pagi melalui terminat F bandara Soekarno Hatta, banyak orang yang stres menghadapi antrian ular (berbelok-belok) yang cukup panjang untuk check-in. Di luar negeri orang terlihat santai mengantri. Sementara di Indonesia, orang yang mengantri celingak-celinguk melihat kapan gilirannya sampai di depan. Ini karena orang Indonesia senang datang mepet dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri.
Beruntung kalau waktu boarding kita masih cukup lama. Tapi kalau kita punya waktu boarding yang sempit, maka antrian seperti ini memang bikin dag-dig-dug. Soalnya semua orang dengan tujuan berbeda-beda dan waktu boarding berbeda-beda, mengantri di line yang sama. Penumpang yang panik biasanya adalah orang yang sebentar lagi mau boarding, sementara di depannya banyak sekali orang yang justru memiliki banyak waktu sebelum boarding.
Memang salah jika Anda datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya Anda sudah harus datang untuk check-in satu jam sebelum boarding. Namun, seperti kebiasaan, beberapa orang senang datang untuk check-in di bawah setengah jam sebelum waktu boarding. Atau, kalaupun bukan kebiasaan, keterlambatan datang bisa gara-gara situasi lalu-lintas yang macet di tol.
Seperti biasa pula, penumpang yang sebentar lagi harus boarding mulai kesal dan marah karena antriannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas jadi panik dan akhinya membuka satu antrian lagi untuk mereka. Keputusan yang sepertinya tepat! Masalah penumpang yang hampir telat ini terpecahkan! Mereka puas karena bisa terbang tepat waktu!
Namun sayangnya hal ini tidak terjadi pada mereka yang masih mengantri, karena mereka diperlakukan tidak adil. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tapi kenapa prioritas diberikan kepada orang yang telat mengantri? Lagipula orang yang senang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu mendapat prioritas untuk memotong antrian. Sistem yang kurang baik, akhirnya bisa membuat orang yang “baik” menjadi “tidak baik”!
Kebanyakan orang di Indonesia tidak mau mengantri karena tidak ada sistem yang baik untuk mengantri. Padahal sistem antrian adalah “disiplin ilmu” tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian ular dalam teori pelayanan punya kelebihan dan kekurangan. Orang yang mengantri akan teratur dengan sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular juga membuat baris antrian seolah tidak panjang. Ini berbeda dengan antrian lurus yang membuat barisnya menjadi terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian, maka orang yang ada di antrian yang lebih lambat bergerak biasanya menjadi tidak puas.
Namun antrian berputar seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua dibatasi oleh waktu bepergian yang berbeda-beda. Akibatnya sistem antrian yang kita buat menjadi tidak berguna.
Mengelola antrian memang menjadi sesuatu yang kompleks. Semakin banyak pelanggan Anda, maka Anda harus memiliki sistem antrian yang baik. Mereka yang menjadi pelanggan sebuah service provider yang punya pelanggan sedikit akan lebih puas, dibandingkan pelanggan pada service provider yang punya pelanggan banyak. Saya bisa membayangkan, Telkomsel dengan pelanggan 75 juta pasti akan menghadapi masalah yang tidak selesai-selesai dalam soal antrian. Sementara mereka mulai memperbaiki sistem antrian, jutaan pelanggan lagi sudah muncul setiap tahun.
Di Wikipedia, sejarah munculnya teori antrian adalah sekitar tahun 1900-an. Perhitungan matematika dibutuhkan untuk mengatur trafik masuk di public switched telephone network. Dengan demikian, tidak ada saluran yang kosong sementara ada saluran lain yang justru penuh sesak. Sama halnya dengan arus barang masuk-keluar, perhitungan matematis diperlukan untuk mengatur agar barang bisa ter-deliver tepat waktu. Selain itu ada beberapa pengaturan yang bersifat customised untuk beberapa hal. Seperti antrian untuk hal-hal yang diprioritaskan, antrian untuk hal-hal yang bisa ditangani cepat, dan lain-lain. Semuanya butuh perhitungan matematis.
Sekarang ini ada mesin kinetic yang bisa mengatur antrian pelanggan berdasarkan kebutuhan. Mereka yang perlu mendapatkan quick service mendapatkan nomor antrian berbeda dibandingkan mereka yang tergolong normal service. Demikian pula dengan mereka yang tergolong pelanggan reguler dan priority akan diperlakukan berbeda dari sisi waktu. Mesin ini juga bisa menghitung estimasi waktu Anda untuk mengantri. Pada kondisi dimana Anda memiliki banyak segmen antrian maka penggunaan IT memang sudah tidak terelakkan lagi.
Cara lain tentunya adalah menambah jenis saluran pelayanan. Percayalah, sebaik apapun Anda membuat desain antrian, pasti akan menimbulkan ketidakpuasan, karena pada dasarnya manusia semakin tidak mau mengantri. Beruntung ada BlackBerry yang membuat orang mungkin betah mengantri karena bisa chatting dan mengirim e-mail sambil mengantri. Namun kesenangan ini juga bisa berakhir pada saat dia menyadari bahwa antrian di depannya tidak bergerak.
Oleh karena itu buatlah saluran pelayanan non fisik yang personal dan relatif murah seperti melalui handphone, website, mesin, dan lain-lain. Biarkan pelanggan bebas menentukan kapan harus mendapatkan pelayanan dan tidak tergantung orang di depan mereka. Tantangannya, budaya orang Indonesia memang masih belum sreg kalau tidak datang ke layanan fisik dan bertatap muka. Tapi antrian fisik sebenarnya bisa menjadi “hukuman” bagi pelanggan yang tidak pernah memakai rencana atau tidak mau memanfaatkan saluran lain yang lebih murah. Lama-kelamaan, mereka pun akan merasa tidak nyaman dan datang tepat waktu. Atau kalau tidak, memilih santai di rumah serta memakai telepon atau internet untuk mendapatkan pelayanan lebih awal.
Sumber: Rachmat Susanta