Minggu, 28 Februari 2010

MAKNA KEPUASAN PELANGGAN

(Ini hanyalah tulisan yang dipergunakan untuk mendukung tesis saya, dan tidak semuanya masuk dalam tesis itu. Karena sayang jika terbuang sehingga saya masukkan ke blog agar dapat dibaca oleh orang lain)


Siapa pun yang terlibat dalam rangkaian bisnis baik itu internal perusahaan mulai dari Top Manajemen hingga ke Room Boy, harus mempunyai rasa tanggung jawab dalam diri mereka mengenai Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan). Terlebih jika bertanggung jawab di Bidang Marketing, harus lebih detail memahami apa-apa saja yang menjadi kemauan pelanggan.
Semua perusahaan dan pelaku bisnis terkemuka saat ini tidak ada satupun yang melupakan konsep Kepuasan Pelanggan, karena mereka menyadari bahwa pelanggan yang puas akan membawa dampak positif untuk bisnis mereka di masa datang. Beberapa dari mereka tidak penting untuk mengetahui teori Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan), Customer Behavior (Perilaku Konsumen) maupun Complainer and Non-complainer. Akan tetapi mereka menyadari sepenuhnya bahwa dengan memupuk kepuasan pelanggan secara langsung akan mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Ini adalah sebuah logika bisnis yang tentu saja tidak lagi perlu diperdebatkan.

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang merasa mendapatkan value dari pemasok, produsen atau penyedia jasa. Value ini bisa berasal dari produk, pelayanan, system dan sesuatu yang bersifat emosi. Value ini dapat berupa produk yang berkualitas, harga yang menarik maupun pelayanan yang menyenangkan.

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang akan berbagi kepuasan dengan produsen atau penyedia jasa. Adakalanya, pelanggan yang puas akan berbagi rasa dan pengalaman kepada pelanggan lain (getok tular). Ini akan menjadi referensi bagi perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, baik pelanggan maupun produsen, akan sama-sama diuntungkan apabila kepuasan terjadi. Dengan hubungan ini, jelaslah bahwa kepuasan pelanggan haruslah menjadi salah satu tujuan dari setiap perusahaan.

Bagaimana teorinya.
Satisfaction adalah kata dari bahasa latin, yaitu satis yang berarti enough atau cukup dan facere yang berarti to do atau melakukan. Jadi produk atau jasa yang bisa memuaskan adalah produk dan jasa yang sanggup memberikan sesuatu yang dicari oleh konsumen sampai pada tingkat cukup. Dalam konteks teori Consumer Behavior, kepuasan lebih banyak didefiniskkan dari perspektif pengalaman konsumen setelah mengonsumsi atau menggunakan suatu produk atau jasa. Salah satu definisi yang disampaikan oleh Richard Oliver adalah “Kepuasan adalah respon pemenuhan dari konsumen. Kepuasan adalah hasil dari penilaian konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkat kenikmatan dimana tingkat pemenuhan ini bisa lebih atau kurang”

Tjiptono, dkk., memberi pengertian bahwa kualitas mencerminkan semua dimensi penawaran produk yang menghasilkan manfaat (benefit) bagi pelanggan. Istilah nilai (value) sering kali digunakan untuk mengacu pada kualitas relatif suatu produk dan jasa yang menyertainya dan dikaitkan dengan harga produk yang bersangkutan.

Sedangkan Kotler mengemukakan pengertian service (jasa/layanan) adalah tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud atau tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan.

Albrecht dalam Lovelock mendefinisikan pelayanan sebagai suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis.

Lewis dan Booms mengartikan bahwa kualitas layanan bisa diartikan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspekstasi pelanggan. Sehingga berdasarkan definisi ini, kualitas layanan ditentukan oleh kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Dengan kata lain, faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan adalah layanan yang diharapkan pelanggan (expected service) dan persepsi terhadap layanan (perceived service).

Parasuraman, dkk menjelaskan bahwa apabila perceived service sesuai dengan expected service, maka kualitas layanan bersangkutan akan dinilai baik atau positif. Jika perceived service melebihi expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service lebih jelek dibandingkan expected service, maka kualitas layanan dipersepsikan negative atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya kualitas layanan bergantung pada kemampuan perusahaan dan staffnya memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.

Secara lebih praktis, kepuasan pelanggan adalah:
Pertama, persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Oleh karena itu pelanggan tidak akan puas apabila pelanggan masih memiliki persepsi bahwa harapan terhadap produk dan jasa belum terpenuhi. Pelanggan akan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan.

Kedua, kepuasan pelanggan sangat bergantung pada harapan pelanggan. Oleh karena itu, strategy kepuasan pelanggan haruslah didahului dengan pengetahuan yang detail dan akurat terhadap harapan palanggan. Harapan pelanggan kadangkala dapat dikontrol oleh perusahaan. Hal ini menjadi tugas Tim Marketing untuk mengukur seberapa besar harapan pelanggan terhadap produk atau jasa yang telah dipersepsikan oleh pelanggan.

Finally. Kepuasan pelanggan adalah hasil akumulasi dari konsumen atau pelanggan dalam menggunakan produk dan jasa. Oleh karena itu, setiap transaksi atau pengalaman baru, akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Dengan demikian, kepuasan pelanggan mempunyai dimensi waktu karena hasil akumulasi. Karena itu, siapapun yang terlibat dalam urusan kepuasan pelanggan, maka mereka melibatkan diri dalam urusan jangka panjang. Upaya memuaskan pelanggan adalah pengalama panjang yang tidak mengenal batas akhir.
Meminjam judul lagunya Kerispatih ”Tak lekang oleh waktu”


Daftar Bacaan Acuan:
Irawan, Handi., 2008, “10 Prinsip Kepuasan Pelanggan”, Edisi Kesepuluh, Jakarta, Elex Media Komputindo.
Lovelock, C.H., 2004, “Product Plus: How Product + Service = Competitive Advantage”, New York, McGraw-Hill, Inc.
Parasuraman, A., V.A. Zeithaml, L.L. Berry, 1985, “A Conceptual Model of Service Quality and its Implications for Future Research”, Journal of Marketing 49, page 48.
__________________________________________, 1988, “Servqual: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality”, Cambridge, Mass: Marketing Science Institute
Tjiptono, Fandy, 2008, “Service Management”, Edisi Pertama, Yogyakarta, Andi.
Tjiptono, Fandy., Gregorius Chandra, Dadi Adriana, 2008, “Pemasaran Strategik”, Edisi Pertama, Yogyakarta, Andi.
Majalah “Marketing” edisi No: 05/IX/MEI/2009 dengan topic “Service Quality or Die”

Rabu, 24 Februari 2010

THE SECRET OF MARKETER 1

Marketer adalah sebuah profesi yang tidak semua orang menyukainya.
Mengapa demikian?
Karena profesi sebagai Marketer adalah profesi yang harus dilakukan oleh pribadi-pribadi yang selalu antusias, positive thinking, berkeyakinan tinggi, memiliki tujuan (goal) yang jelas sesuai target, sikap kita dalam melihat sesuatu, motivasi tinggi, focus terhadap solusi dalam menyelesaikan masalah, dan tentu saja selain integritas juga didukung oleh consistensi sebagai seorang marketer.
Kodrat manusia sejak lahir adalah menonjolkan ego dan tidak peduli dengan orang sekitarnya karena selalu mementingkan diri sendiri. Bagaimana dirinya merasa aman setelah itu baru memikirkan orang lain. Sedangkan seorang marketer justru berpikir sebaliknya, dimana ia harus berusaha memikirkan apa yang diinginkan oleh orang lain dan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk merealisasikannya.
Apakah manusia hanya sedikit yang berbakat sebagai marketer?
Tentu saja semua manusia memiliki jiwa marketer.
Hal ini dapat digambarkan bahwa sejak kita dilahirkan maka kita akan berusaha untuk membuat senang kedua orang tua kita dengan senyuman maupun tertawa bahagia. Orang tua akan bangga jika buah hatinya dapat tertawa. Kemudian agak besar berusaha untuk meminta kepada kedua orang tua, kepada kakak, saudara dan lain-lain agar mengambilkan sesuatu atau berbuat sesuatu. Disaat sekolah kita minta bantuan dalam hal kesulitan mengerjakan PR. Atau minta diajarkan suatu permainan kepada salah satu kawan kita.
Dalam arti kata, jiwa marketer dalam diri kita adalah menawarkan segala sesuatu yang ada dalam diri kita kepada orang lain. Pada saat kita minta tolong kepada orang tua kita untuk membuatkan susu, apabila kita lakukan dengan membentak keras sudah dapat dipastikan telinga kita akan dijewer. Kita bekerja keras belajar agar studi kita di sekolah dapat membanggakan orang tua kita merupakan salah satu bentuk marketer, yaitu memberikan kepuasan pelanggan apabila kita anggap bahwa orang tua kita adalah pelanggan.
Dengan potensi yang sedemikian besar, mengapa hanya beberapa yang menyukai profesi marketer.
Karena selain faktor ego.
Profesi marketer selalu berinovasi dan bukan tujuan akhir. Marketer adalah sebuah perjalanan panjang yang tanpa henti. Sehingga membuat orang akan merasa capek dengan berbuat seperti itu. Di profesi lain, akan merasa berhasil apabila telah selesai membuat suatu report tertentu, atau telah mendapatkan profit tertentu. Sedangkan marketer harus selalu aktif melakukan move, apabila ada celah segera dimasuki, ada peluang segera di ambil, apabila ada profit akan segera menciptakan profit-profit berikutnya. Hal ini yang membuat orang lain merasa ogah dengan profesi sebagai marketer.
Yang paling krusial adalah faktor pelecehan
Tidak jarang seorang marketer dilecehkan atau dipandang sebelah mata oleh orang yang berada disekitarnya. Bahkan ada yang melihat bahwa pekerjaan sebagai marketer adalah pekerjaan yang hina, tidak berharga, tidak bergengsi hingga kurang aksi dan nggak berarti.
Hal ini tentu saja ada benarnya
Akan tetapi perlu disadari bahwa marketer itu bertugas untuk meyakinkan orang lain terhadap apa yang ditawarkannya. Metode atau cara dalam menawarkan produk atau jasa tersebut kadangkala dapat menimbulkan simpati atau pelecehan. Pelecehan disini sebenarnya bukan bermaksud melecehkan profesi marketer apalagi institusinya, akan tetapi lebih condong kepada personalnya. Ulah personal tadi pada gilirannya berdampak pada institusi hingga ke profesi.
Sebagai contoh Perusahaan Asuransi ABC bermaksud memperkenalkan produk baru kepada masyarakat dan unit usaha yang membutuhkannya. Marketer 1 dari Asuransi ABC tadi memiliki relasi dengan manajemen perusahaan DEF yang dituju, sehingga dapat melakukan presentasi dengan mudah. Sedangkan Marketer 2 berupaya menembus perusahaan GHU dan selalu diberikan janji-janji yang tertunda-tunda. Ternyata manajemen perusahaan GHU merasa tersinggung dengan gaya dan kepribadian Marketer 2, sehingga tidak diberikan kesempatan untuk bertemu di waktu yang akan datang.
Dalam contoh kasus diatas, sebenarnya bukan profesi marketer atau perusahaan Asuransi-nya yang mendapatkan pelecehan dari konsumen, melainkan personalnya. Untuk itu kita harus berhati-hati dalam menjalankan profesi marketer, yaitu dengan membekali diri dengan berbagai ilmu kepribadian, ilmu pelayanan dan tentu saja etika.

(Bersambung)

BERSAHABAT DENGAN MASALAH

“If a problem doesn’t kill you, it will make you stronger.”


Seorang kawan mengeluh, ”Pak, saya kok sering kena masalah ya? Padahal saya ini sudah rajin berdoa, selalu positive thinking, tidak pernah bikin susah orang lain, suka menolong orang lain, jujur dalam bekerja, dan nggak neko-neko. Kenapa ya Pak? Apa masalah saya? Saya sudah bosan kena masalah terus.”
”Wah, selamat ya,” balas saya.
”Lho, bagaimana sih Pak Adi ini. Saya punya banyak masalah kok malah diberi selamat. Senang ya Pak kalau lihat orang susah?” kawan saya balik bertanya dan agak jengkel.
“Sabar...sabar... bukan begitu maksud saya. Jangan tersinggung dong,” jawab saya cepat sambil berusaha menenangkan kawan saya ini.
Nah, pembaca, apa yang saya tulis di artikel ini merupakan hasil obrolan saya dan kawan saya.
Masalah. Setiap orang pasti punya masalah. Setiap hari kita pasti berhadapan dengan masalah. Kita berusan dengan masalah. Kita mendapat masalah. Kita membuat masalah. Kita bahkan bisa jadi sumber masalah. Masalah terbesar adalah kalau kita tidak tahu bahwa masalah kita adalah kita merasa tidak punya masalah.
Pembaca, waktu Anda mengalami masalah, bagaimana reaksi Anda?
Apakah Anda marah? Jengkel? Sakit hati? Frustrasi? Takut? Menyalahkan diri sendiri? Atau Anda cenderung untuk menyalahkan orang lain?
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa saya menggunakan judul ”Bersahabat Dengan Masalah”. Apa nggak salah, nih? Kita kok diminta bersahabat dengan masalah?
Benar. ”Masalah” sebenarnya adalah hal yang sangat positif. Mari kita bahas terlebih dahulu makna di balik kata ”masalah”. Masalah, yang dalam bahasa Inggris adalah ”problem”, ternyata mempunyai akar kata yang maknanya sangat berbeda dengan yang kita pahami selama ini.
Akar kata ”problem” berasal dari bahasa Yunani, proballein, yang bila ditelusuri lebih jauh mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw. Jadi, problem berarti bergerak maju. Problem berarti kesempatan untuk maju dan berkembang.
Sewaktu pertama kali mengetahui bahwa akar kata problem, proballein, artinya bergerak maju, saya sempat terhenyak dengan perasaan kaget dan takjub. Sungguh luar biasa dan sungguh benar. Coba kita renungkan bersama. Masalah sebenarnya adalah suatu simtom yang menunjukkan adanya suatu penyebab atau akar masalah. Justru dengan seringnya seseorang mendapat “masalah”, bila orang ini cukup bijak dan jujur pada dirinya sendiri, ia akan berkembang dan bisa lebih maju.
Lha, kok bisa begini?
Pernahkah Anda, atau mungkin orang yang Anda kenal, mendapat atau mengalami masalah?
Jawabannya, “Sudah tentu pernah.”
Pertanyaan saya selanjutnya, “Apakah masalah yang dialami Anda mirip dengan masalah sebelumnya?”
Jika kita mau bersikap jujur dan jeli dalam mengamati maka seringkali masalah yang kita alami sifatnya “mengulang” masalah sebelumnya. Ada kemiripan atau kesamaan. Bentuk masalahnya bisa berbeda namun polanya sama.
Satu contoh. Ada seorang wanita yang putus dengan pacarnya. Ia marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan bersumpah akan mencari pasangan yang jauh lebih baik. Namun kenyataannya? Ia mendapatkan pacar baru yang mempunyai karakter yang serupa dengan mantan pacarnya.
Ada lagi seorang pengusaha besar, kawan saya, berulang kali kena tipu. Sekali kena tipu jumlahnya nggak main-main. Bukan puluhan juta tapi ratusan juta. Dan ini terjadi berulang kali.
Seorang kawan yang lain seringkali ribut dengan istrinya hanya karena hal-hal sepele. Misalnya hanya karena si istri memencet pasta gigi tidak dari bawah, tetapi dari tengah, ia marah besar. Sebaliknya si istri walaupun telah diberitahu suaminya tetap mengulangi pola perilaku yang sama.
Masalah yang kita hadapi sebenarnya menunjukkan ”level” kita. Siapa diri kita sebanding dengan masalah yang kita hadapi. Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita untuk mengatasinya? Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya?
Masalah atau problem sebenarnya guru sejati yang seringkali kita abaikan. Kebanyakan orang mengalami masalah yang serupa atau berulang karena mereka tidak belajar dari masalah yang pernah mereka alami.
Ibarat anak sekolah bila kita tidak naik kelas, karena nilai ujian kita jelek, maka kita akan mengulang di level atau kelas yang sama. Tidak mungkin guru akan menaikkan kita ke kelas berikutnya. Mengapa? Lha, soal ujian di level ini saja kita nggak lulus apalagi kalau diberi soal ujian level di atasnya.
Kita harus mengulang, tidak naik kelas, dengan harapan kita akan belajar, meningkatkan diri, dan akhirnya mampu mengerjakan soal ujian dengan benar. Dengan demikian kita ”lulus” ke kelas berikutnya.
Saat tidak naik kelas, bukannya belajar dari ”masalah” ini, banyak yang malah membuat masalah baru dengan menjadi marah, frustrasi, dan menyalahkan guru atau sekolah. Anda pernah bertemu dengan orang seperti ini?
”Ah, itu kan anak sekolah. Memang harusnya begitu,” ujar kawan saya.
Lho, kita ini kan juga anak sekolah. Kita sekolah di Sekolah Kehidupan. Kehidupan adalah tempat kita belajar. Untuk maju kita harus menjadi pembelajar seumur hidup atau life long learner.
Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya kurang setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya pengalaman adalah guru terbaik bila itu pengalaman orang lain. Jadi, kita belajar dan mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan dengan menelaah dan mempelajari pengalaman orang lain dan kita terapkan untuk kemajuan hidup kita. Lha, lebih baik mana, Anda kena tipu Rp 1 miliar atau Anda belajar dari pengalaman orang lain yang tertipu Rp 1 miliar dan Anda gunakan pengetahuan ini untuk melindungi diri Anda agar tidak mengalami masalah yang sama?
Pengalaman adalah guru yang terbaik bila kita dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang kita alami. Kebanyakan orang mengalami ”pengalaman” hanya sekadar mengalami. Mereka tidak memetik pelajaran atau manfaat apa pun dari pengalaman (baca: masalah) mereka.
OK. Sekarang sudah jelas bahwa kita bisa belajar dari masalah. Tapi bagaimana caranya?
Ada empat langkah mujarab untuk mengatasi setiap masalah dalam hidup:

1. Mengakui adanya masalah
2. Setiap masalah pasti ada sumber atau akar masalahnya
3. Bila akar masalah ditemukan maka masalah dapat dipecahkan
4. Jalan keluar untuk menyelesaikan masalah



Contoh konkritnya?
Mari kita analisis kasus yang dialami kawan saya. Itu lho, yang bolak-balik kena tipu ratusan juta rupiah.
Langkah pertama adalah mengakui atau menerima bahwa ia punya masalah. Ia harus berani mengakui dan memutuskan untuk mengubah hal ini. Masalahnya adalah ia berkali-kali kena tipu. Banyak orang yang bila mendapat masalah, hanya bisa berdoa, pasrah, nrimo, dan berkata bahwa masalah mereka adalah bentuk cobaan dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa masalah yang mereka alami, karena merupakan cobaan dari Tuhan, maka Tuhan-lah yang harus mengubah keadaan ini. Saya tidak setuju dengan pandangan ini. Bukankah ada tertulis bahwa Allah tidak akan membantu mengubah nasib umat-Nya apabila umat-Nya tidak bersedia mengubah nasib mereka sendiri.
Langkah kedua adalah memahami bahwa masalah (simtom) yang ia alami pasti ada sumber atau akar masalah. Dan akar masalahnya bukan terletak di luar dirinya, misalnya ia tertipu karena kelihaian si penipu dalam meyakinkan dirinya sehingga mau meminjami uang, tapi akar masalahnya terletak di dalam dirinya.
Langkah ketiga, bila akar masalah yang ada di dalam dirinya berhasil ditemukan, maka ia dapat mengatasi masalahnya.
Langkah keempat adalah memilih solusi terbaik yang akan digunakan dalam mengatasi masalah. Setelah sukses melakukan empat langkah di atas maka ia dapat memetik hikmah dari apa yang ia alami.
Sekarang akan saya uraikan langkah demi langkah yang dilakukan kawan saya.
Langkah 1. Masalah: Saya tertipu ratusan juta berkali kali.
Langkah 2. Saya menyadari bahwa akar masalah terletak di dalam diri saya.
Langkah 3. Akar masalah saya adalah belief yang menyatakan bahwa saya adalah kasirnya Tuhan.
Langkah 4. Saya mengubah belief saya, dari kasirnya Tuhan menjadi Fund Manager uangnya Tuhan. Saya akan mengelola uang yang dipercayakan kepada saya dengan hati-hati karena saya harus mempertanggungjawabkan uang ini setiap akhir tahun buku.
Hikmah yang didapat dari masalah ini adalah bahwa apa yang ia alami dipengaruhi oleh belief-nya. Setiap belief mengakibatkan konsekuensi tertentu. Cara paling tepat untuk mengevaluasi apakah suatu belief bermanfaat atau justru merugikan diri kita bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh belief-belief itu terhadap hidup kita.
Selama seseorang masih tetap memegang belief yang sama maka ia akan mendapat hasil yang sama. Tidak mungkin terjadi seseorang mendapat hasil yang berbeda dengan belief yang sama. Einstein menjelaskan dengan sangat tepat saat ia berkata, ”Insanity is doing the same thing over and over but expecting different result.”[awg]


* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology,pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.

THE LAW OF ATTRACTION (3)

“Giving thought, on the one hand, and expecting or believing, on the other hand, is the balance that brings to you that which you receive.”


Pada artikel pertama mengenai LOA saya telah menyinggung sekilas mengenai prinsip sukses yang saya tulis di buku Becoming a Money Magnet (BMM) dan yang menjadi intisari dari materi yang diajarkan di Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet. Pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit lebih mendalam mengenai prinsip sukses BMM, mengapa kami menyusunnya sedemikian rupa, dan hubungannya dengan LOA.
Rumus sukses yang kami ajarkan adalah: 1) Tahu apa yang diinginkan/dream, 2) Yakin, 3) Syukur, 4) Pasrah, dan 5) Doa.
Langkah pertama “tahu apa yang diinginkan”, atau mudahnya kita sebut saja dream, merupakan kunci untuk bisa merealisasikan hal-hal yang ingin dicapai dalam hidup. Bagaimana kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan kalau kita tidak jelas apa yang kita inginkan? Kejelasan (clarity) merupakan kunci dan tidak bisa ditawar. Dream merupakan buah pikir (thought) yang akan tampil di layar mental dan selanjutnya di-broadcast. Apakah hanya dream saja cukup? Tentu tidak. Dream yang kami maksudkan adalah dream yang mempunyai muatan emosi positif yang tinggi. Semakin tinggi akan semakin kuat efeknya.
Mengapa perlu dream? Alasan lainnya adalah dream merupakan wants bukan needs. Jika kita ditanya apa impian kita maka kita pasti akan menjawab sesuatu yang sangat kita inginkan di masa depan. Jika kita sudah punya mobil Kijang Inova maka dream kita bisa jadi Toyota Fortuner. Pasti sesuatu yang lebih tinggi. Nah, dengan pemahaman ini maka sudah jelas dream sangat penting.
Langkah kedua adalah yakin. Nah, ini yang susah. Yakin atau belief adalah urusan pikiran bawah sadar. Tidak mudah untuk bisa mengubah belief atau keyakinan kita. Itulah sebabnya mengapa banyak orang tahu apa yang mereka inginkan namun sangat sulit untuk mendapatkan impian mereka. Syarat pertama sudah terpenuhi. Mereka tahu apa yang mereka inginkan. Namun mereka tidak yakin. Terjadi konflik antara pikiran sadar dan bawah sadar. Pikiran sadar mau tapi pikiran sadar nggak yakin. Dan yang selalu menang adalah pikiran bawah sadar.
Saya mendapat banyak sekali respon positif dari para alumnus SC yang mengatakan bahwa, ”Miracle happens in my life”, ”Mengapa sekarang sukses kok sangat mudah dicapai?”, ”Saya bingung melihat perkembangan bisnis saya yang sedemikian pesat?”, ”Dulu saya susah payah mencari order, sekarang saya kepayahan dikejar-kejar order.” Dan, masih banyak lagi komentar positif senada yang dikirim baik via sms maupun email ke saya.
Di SC di Trawas baru-baru ini kami melihat begitu banyak peserta yang mengalami transformasi diri. Kami menangis tangis bahagia bersama-sama. Sungguh satu kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata saat melihat para naga bangun dari mimpi yang selama ini membuat mereka bertindak hanya seperti layaknya cacing atau ular.
Apa yang kami lakukan di SC sebenarnya sederhana. Kami membantu para peserta untuk bisa keluar dari penjara mental yang telah sekian tahun membatasi mereka. Hanya itu. Setelah terbebas dari penjara mental (limiting belief) maka mereka bisa yakin. Dengan demikian dua langkah pertama telah berhasil dicapai.
Sebenarnya hanya dengan dua langkah ini saja, dream dan yakin, kita sudah bisa berhasil. Dua langkah ini sudah memenuhi syarat untuk bisa membuat LOA bekerja keras untuk kita.
Sebelum melanjutkan saya ingin membahas sedikit lebih dalam mengenai dream dan yakin/belief.
Dalam kondisi normal perkembangan diri kita bersifat gradual, perlahan-lahan, step by step. Demikian juga dengan belief. Itulah sebabnya goal setting ... eh.. salah... outcome setting harus dilakukan dengan hati-hati. Idealnya kita men-set outcome paling tinggi 20 persen lebih tinggi dari pencapaian sebelumnya. Mengapa demikian? Karena ini adalah lompatan yang masih dianggap wajar/masuk akal oleh pikiran kita. Dengan demikian tidak akan ditolak.
Dalam kondisi normal, bila kita ingin mencapai hasil yang spektakuler, jauh di atas pencapaian yang selama ini kita capai, suatu quantum leap, maka yang perlu diotak-atik bukan belief kita. Mengapa? Karena dalam kondisi normal belief kita tidak bisa berubah drastis.
Nah, karena belief tidak bisa berubah drastis maka yang direkayasa adalah ”keinginan” kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Bingung? Ini saya beri satu contoh.
Anda mungkin pernah mendengar cerita mengenai seorang wanita yang mampu mengangkat mobil demi membebaskan anaknya yang terjepit di bawah mobil itu? Secara logika atau belief wanita ini tidak mungkin ia mampu mengangkat mobil yang berat. Namun, ia sangat ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Satu-satunya cara adalah dengan mengangkat mobil dan membebaskan si anak dari himpitan mobil. Hasilnya? Ia sukses mengangkat mobil itu. Jika ia diminta mengulangi lagi, apakah bisa? Tidak bisa.
Dengan kata lain, bila ”keinginan” benar-benar kuat maka pengaruh belief dapat di-bypass sehingga kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.
Di SC kita mengajarkan peserta untuk berani menetapkan outcome dua kali lipat (200 persen) dari pencapaian sebelumnya. Edukasi ini dilakukan langsung ke pikiran bawah sadar.
Mengapa kami melakukan hal ini? Jawabannya sederhana. Untuk bisa mencapai hasil yang spekatuler atau quantum leap maka kita harus melepas belief lama dan mengadopsi belief baru yang mendukung pencapaian tujuan. Hanya ini caranya. Tidak ada cara lain. Ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan rekonstruksi atau restrukturisasi berbagai program pikiran yang ada di pikiran bawah sadar.
Nah, setelah langkah pertama, dream, dan langkah kedua, yakin/belief, saya jelaskan maka kini saya akan menjelaskan langkah ketiga yaitu syukur.
Pertanyaannya, ”Mengapa syukur? Mengapa bukan yang lain?”
Syukur mempuyai makna: 1) Rasa terima kasih kepada Tuhan, dan 2) Pernyataan lega, senang, dan sebagainya.
Setelah melewati langkah pertama dan kedua sebenarnya kemampuan peserta SC untuk menarik hal-hal yang mereka inginkan sudah sangat kuat. Kemampuan ini semakin diperkuat dengan level energi yang sangat tinggi dari perasaan syukur. Jika kita punya dream dan kita yakin bahwa kita pasti akan mendapatkan apa yang kita inginkan, atas izin Tuhan, maka yang perlu kita lakukan tinggal bersyukur dan bersyukur. Bersyukur berarti kita senantiasa berterima kasih atas kemurahan Tuhan. Bersyukur berarti kita merasa lega, senang, gembira, bahagia, dan damai karena kita tahu bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Level energinya sangat tinggi, bisa mencapai 600. Bagi pembaca yang bingung mengenai level energi, Anda bisa membaca artikel saya yang terdahulu yang berjudul ”Energi Psikis Sebagai Akselerator Keberhasilan”.
Setelah bersyukur maka selanjutnya kita pasrah. Kapan kita mendapatkan apa yang kita inginkan ini sepenuhnya bergantung pada Yang Kuasa, melalui kerja LOA. Dengan pasrah, kita justru semakin memperkuat kerja LOA.
Langkah terakhir adalah doa. Mengapa saya tidak menempatkan doa sebagai langkah awal? Karena sudah terlalu banyak orang yang berdoa namun tidak mendapatkan jawaban untuk doa mereka. Mungkin Anda juga pernah mengalaminya. Mengapa bisa begitu? Karena kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka inginkan (dream). Kalaupun mereka tahu, mereka tidak yakin bisa mendapatkan dream mereka. Akibatnya mereka tidak bisa bersyukur karena tidak pernah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan selanjutnya mereka juga nggak pasrah. Banyak orang yang mengaku pasrah namun sebenarnya tidak. Hal ini tercermin dari sikap mereka yang cenderung negatif dan suka mengeluh.
Dengan menempatkan doa pada bagian akhir justru saya ingin mengatakan bahwa doa inilah yang paling penting. Mengapa? Karena definisi doa yang saya tawarkan berbeda. Ini menurut saya pribadi lho. Anda boleh setuju boleh juga tidak. Doa kita kepada Sang Hidup sebenarnya berupa pola pikir, ucapan, tindakan, sikap, perilaku, harapan, dan hidup keseharian kita.
Setelah membaca sejauh ini pasti Anda bingung dan bertanya, “Lho, Pak Adi kok sama sekali tidak bicara mengenai action atau kerja?”
He...he... sudah tentu kita perlu kerja. Namun, jika telah menggunakan bantuan LOA untuk mencapai keberhasilan hidup maka kerjanya kita bisa sangat minim. Nggak usahlah melakukan massive action. Capek ah.. kalau terus-terusan massive action. Cukup actions seperlunya saja lah. Inilah yang saya jelaskan panjang lebar di buku BMM. Anda akan mengalami berbagai kebetulan yang tidak kebetulan yang kebetulan mempermudah pencapaian tujuan Anda dengan cara yang sangat kebetulan.
Lha, kalau bisa dibuat mudah mengapa harus dipersulit? Gitu aja kok repot?
Oh, ya... mengakhiri seri tulisan ini, ”The Law of Attraction”, saya sangat menyarankan Anda untuk bisa segera membeli dan membaca buku The Secret yang ditulis oleh Rhonda Byrne. Buku ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Selain itu Anda juga perlu menonton video The Secret yang merupakan satu video sangat dahsyat yang akan membuka wawasan berpikir Anda mengenai LOA.[awg]


* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.

THE LAW OF ATTRACTION (2)

“Your thoughts and your feelings create your life. It will always be that way. Guaranteed!”~ Lisa Nichols

Pada akhir artikel sebelumnya saya mengatakan bahwa kunci untuk memanfaatkan LOA demi kemajuan kita adalah dengan kesadaran diri. Kita harus selalu sadar untuk senantiasa mengarahkan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang kita inginkan.
Apakah ini mudah? Oh, sudah tentu tidak mudah. Deepak Chopra pernah berkata bahwa dalam satu hari kita melakukan self-talk sebanyak 55.000 – 65.000 kali. Nah, self-talk ini termasuk bentuk pikiran. Pertanyaannya sekarang, ”Bagaimana caranya kita bisa menggunakan kesadaran untuk mengendalikan buah pikir sebanyak ini?” Jawabannya, ”Tidak mungkin bisa.”
Jawaban ini berlaku bagi orang awam. Ada segelintir orang yang mampu mengendalikan pikiran mereka sepenuhnya. Namun untuk bisa mencapai kemampuan ini dibutuhkan latihan dengan disiplin diri yang tinggi selama bertahun-tahun.
Sekarang kita hidup di zaman serba instan. Saya yakin tidak ada satupun di antara kita yang mau melakukan latihan mental semacam itu. Apakah ada cara yang lebih mudah dan nggak usah kerja keras? Ada. Mau tahu? Gunakan perasaan atau emosi sebagai Guiding System.
Beberapa waktu lalu saya sempat menulis artikel dengan judul ”Emosi: Kunci Rahasia Kebijaksanaan”. Saya sangat menyarankan Anda untuk membaca artikel ini agar bisa lebih memahami apa yang saya uraikan di artikel ini.
Kembali ke laptop.... Eh, salah... ke perasaan. Karena kita tidak mungkin mengawasi satu per satu pikiran yang muncul maka cara paling mudah adalah dengan selalu mengawasi perasaan kita. Bagaimana caranya? Mudah saja. Jika kita merasa senang, bahagia, gembira, atau gampangnya merasa ”enak” maka ini artinya baik. Jika perasaan yang kita rasakan bersifat negatif (tidak ”enak”) maka ini sebenarnya merupakan warning signal dari Guiding System kita bahwa ada bagian, di pikiran bawah sadar, yang kerjanya tidak in-line.
Saat emosi kita muncul terhadap sesuatu objek, objek apa pun termasuk objek pikiran, maka pada saat itu kita mengaktifkan dan memberikan ”perintah” pada LOA untuk mulai bekerja dan menarik hal-hal yang membuat munculnya perasaan kita.
Contohnya begini. Ada seorang wanita yang baru putus cinta. Hatinya sakit bak disayat sembilu. Emosinya bergejolak. Saat itu ia memutuskan bahwa ia ingin mendapat pasangan yang jauh lebih baik daripada mantan kekasihnya yang brengsek, kurang ajar, nggak tahu diri, dan egois. Selang beberapa bulan apa yang terjadi?
Benar. Wanita ini mendapatkan pasangan yang kurang lebih sama dengan mantan kekasihnya. Lha, kok bisa begitu? Bukankah ia ingin mendapatkan pasangan yang lebih baik? Bukankah ia ingin bahagia?
Sekali lagi, Anda benar. Namun wanita ini secara tidak sadar telah mengaktifkan LOA untuk menarik pria yang justru tidak ia inginkan. Mengapa bisa terjadi? Saat ia memutuskan bahwa ia ingin mendapatkan pasangan yang ”tidak seperti” mantan kekasihnya maka yang muncul di layar mentalnya justru gambar mantan kekasihnya. Begitu gambarnya muncul maka semua emosi yang berhubungan dengan pengalaman negatifnya juga ikut muncul. Akibatnya? LOA bekerja mewujudkan apa yang menjadi fokus perhatian dengan muatan emosi terkuat.
Beberapa waktu lalu saya mendapat telepon dari seorang pembaca buku Becoming a Money Magnet (BMM). Ibu ini, sebut saja Yuni, tinggal di Surabaya dan kebetulan seorang dokter. Ibu Yuni bercerita mengenai anaknya yang berusia 2 tahun yang sangat susah makan. Sudah sangat banyak cara ia coba agar bisa membuat anaknya mau makan. Namun selalu gagal.
Nah, setelah Ibu Yuni membaca buku BMM ia mencoba melakukan pendekatan yang berbeda. Selama ini yang ada dipikiran Ibu Yuni adalah, ”Anak saya susah makan.” Dan sesuai dengan prinsip kerja LOA itulah yang ia dapatkan.
Perubahan terjadi saat Ibu Yuni, di pagi hari, mengubah pola pikirnya. Pagi ini Ibu Yuni mulai berpikir bahwa, “Anak saya suka makan dan pintar makan.” Dengan mindset seperti ini Ibu Yuni mulai menyiapkan sarapan pagi putranya. Hasilnya? Ibu Yuni bingung dan bengong. Anaknya, padahal nggak diapa-apain, pagi itu langsung makan sarapannya dengan lahap.
Satu contoh lagi. Mengapa orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin? Orang miskin, pada umumnya, hanya memikirkan needs (kebutuhan). Orang kaya memikirkan wants (keinginan). Ada perbedaan yang signifikan antara needs dan wants.
Needs mencerminkan kondisi kita saat ini, what-it-is. Sedangkan wants mewakili kondisi what-it-shall-be. Karena dasar pikirannya berbeda maka bisa anda bayangkan bagaimana gambar yang muncul di monitor pikiran? Yang selalu di-broadcast oleh pikiran orang miskin adalah kondisi mereka yang serba minim, kekurangan, dan menderita. Dengan demikian gambar mental ini mengaktifkan emosi negatif yang semakin memperkuat kerja LOA. Mereka dapatkan apa yang mereka ”minta”.
Berbeda dengan orang kaya. Yang mereka pikirkan adalah apa yang mereka inginkan (wants). Emosi yang muncul adalah emosi positif. Akibatnya? Mereka menjadi semakin kaya.
Anda mungkin berkata, ”Lho, Pak, saya kenal ada orang miskin yang juga senantiasa memikirkan wants, lho. Tapi kenapa hidupnya kok ya tetap susah?”
Ingat, LOA memberikan respon pada vibrasi pikiran yang mendasari setiap ucapan dan tindakan. Bisa saja orang miskin ini memikirkan wants. Tapi dasar pemikiran mereka bukan demi kebahagiaan namun lebih agar mereka bisa ”terbebas” dari himpitan kemiskinan. Nah, yang dominan sebenarnya apakah wants atau needs? Yang ada di pikiran orang miskin ini adalah scarcity (kekurangan) bukan abundance (keberlimpahan).
Lalu bagaimana dengan nasib sial yang beruntun? Wah, kalau ini jawabannya agak susah. Bagi yang sering mengalami sial atau ketidakberuntungan, misalnya musibah, sakit, masalah, dan yang lainnya, maka saran saya adalah Anda harus segera cari orang pintar untuk di-ciswak atau di-ruwat. He..he... kalau yang ini jangan ditanggapi serius. Ini hanya bercanda.
Nah, kembali ke masalah nasib sial yang beruntun. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebelum saya jelaskan, saya akan berikan contoh kasus nyata yang pernah saya tangani.
Seorang pengusaha besar, Pak Agung, datang ke tempat saya, diantar oleh rekannya yang kebetulan juga kawan saya. Pak Agung mengeluh bahwa sudah dua tahun lebih ia mengalami depresi. Usahanya merosot hanya tinggal 30% dari biasanya. Orang terbaiknya keluar dan ia mendapatkan banyak hambatan/musibah dalam usahanya.
Melalui in-depth interview saya akhirnya menemukan akar masalahnya. Ceritanya begini. Dua tahun lalu Pak Agung pergi ke salon di sebuah hotel bintang lima. Pak Agung berniat memotong rambutnya. Saat itu ada beberapa orang yang juga sedang dipotong rambutnya. Tiba-tiba salah satu dari tamu itu terbatuk-batuk, gemetar, napasnya sesak, dan jatuh dari kursi. Semua yang ada di salon itu panik dan tidak ada yang berani mendekat. Pak Agung duduk persis di samping tamu ini.
Dengan terpaksa Pak Agung berusaha membantu tamu yang sakit ini. Lima belas menit kemudian tamu ini tubuhnya membiru dan meninggal. Ternyata ia kena serangan jantung. Nah, celakanya Pak Agung mempunyai belief bahwa bila ia berada di samping orang yang meninggal maka ini merupakan pertanda sangat buruk. Ini benar-benar apes yang sangat berat. Ia meyakini hal ini. Emosinya bergejolak.
Sejak saat itu Pak Agung mulai mengalami banyak ”kesialan” dalam hidupnya. Dan ”kesialan” ini semakin lama semakin banyak dan beruntun. Seakan-akan seperti sebuah downward spiral yang semakin lama semakin cepat menarik Pak Agung turun.
Apa yang saya lakukan untuk membantu Pak Agung. Sederhana saja. Saya tidak menggunakan hipnosis/hipnoterapi karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena Pak Agung belum bersedia diterapi dengan hipnoterapi. Salah dua adalah karena Pak Agung masih minum obat penenang sehingga kesadarannya tidak bekerja optimal.
Saya hanya menyarankan Pak Agung untuk mulai memikirkan hal-hal yang ia inginkan. Bukan hal-hal yang justru tidak ia inginkan. Tujuannya untuk menghentikan suplai energi ke pikiran ”sial” dan mulai mengarahkan energi pikirannya ke ”keberuntungan”.
Pak Agung mengakui bahwa sulit baginya untuk melakukan hal ini. Saya bisa menyadari kesulitannya karena daya kerja LOA telah begitu kuat mencengkeram pikirannya. Selanjutnya yang bisa saya sarankan adalah untuk mengalihkan pikirannya ke hal-hal yang, bila ia lakukan, akan menimbulkan perasaan senang, tenang, damai, atau bahagia. Pokoknya hal-hal apa saja yang bisa membuatnya feel good. Teknik ini dikenal dengan nama distraction.
Apa itu? Misalnya karaoke, bermain dengan anak, memelihara ikan, merawat bunga/tanaman, liburan, nonton film, jalan ke mall, berdoa, meditasi, atau apa saja.
Setelah membaca uraian di atas saya yakin anda kini pasti mengerti mengapa ”nasib” seseorang bisa berubah setelah di-ciswak atau diruwat. Prosesi ciswak atau ruwatan ini sebenarnya hanyalah tool untuk meyakinkan pikiran seseorang sehingga fokusnya berubah dari yang sebelumnya berpikiran negatif ke pikiran yang positif. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip kerja LOA, orang ini mulai menarik hal-hal positif ke dalam hidupnya. Dengan demikian nasibnya berubah.
Misalnya Anda pengusaha dan Anda merasa nasib Anda sial terus. Lalu Anda memutuskan menjalani ruwatan. Eh... ternyata usaha Anda masih rugi, katakanlah Rp1 miliar. Pikiran Anda akan berkata, ”Untung sudah diruwat. Coba kalau nggak. Wah saya bisa rugi Rp10 miliar. Karena sudah mengalami kerugian maka sialnya sudah lewat. Setelah ini pasti yang datang hanyalah keberuntungan.” Dengan mindset seperti ini sudah tentu Anda akan mengalami keberuntungan.
Sebagai penutup saya ingin berbagi cerita mengenai kawan saya. Sebut saja namanya Pak Hari. Pak Hari adalah kepala kantor wilayah salah satu bank plat merah terbesar di Indonesia. Beliau mencapai posisi ini dengan mudah dan lancar. Bahkan beliau adalah Kakanwil termuda dalam sejarah bank ini. Pak Hari ini memang sangat luar biasa kepribadiannya. Low profile tapi high profit.
Karena penasaran mendengar perjalanan karirnya saya lalu bertanya hal apa saja yang ia lakukan untuk bisa mencapai posisinya sekarang. Beliau memang tipe orang yang suka kerja keras. Namun ada satu hal yang berbeda yang akhirnya saya temukan. Apa itu? Beliau adalah seorang muslim yang taat. Selalu melakukan sholat lima waktu. Yang istimewanya, setiap selesai menyelesaikan sholat, beliau selalu memanjatkan doa, yang saya simpulkan sebagai afirmasi yang sangat dahsyat yang membuat LOA bekerja mendukung dirinya.
Apa doanya? Sederhana dan singkat. Beliau tidak minta macam-macam. Doa atau afirmasi yang selalu beliau panjatkan kepada Sang Hidup adalah, ”Ya, Allah, saya mohon agar dimudahkan jalanku.”[awg]

* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.

THE LAW OF ATTRACTION [1]

“The vibrations of mental forces are the finest and consequently the most powerful in existence.”~ Charles Haanel

Banyak orang yang bingung saat saya menjelaskan prinsip sukses yang kami ajarkan di Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet. Berbeda dengan kebanyakan prinsip sukses yang telah mereka ketahui di SC kami mengajarkan 5 langkah sukses yang menjadi intisari dari teknik untuk menggunakan The Law of Attraction (LOA) dengan mudah dan optimal.
Ada seorang pembaca buku dari Jakarta yang menelepon saya dan bersikeras mengatakan bahwa keberhasilan yang dialami oleh rekan-rekan yang mempraktikkan apa yang kami bagikan di SC hanyalah kebetulan. Pembaca ini merasa bahwa sukses itu nggak mudah. Sukses hanya bisa diraih dengan perjuangan keras dan kalau perlu sampai “berdarah-darah”.
Melalui percakapan yang cukup intens selama hampir setengah jam saya menjelaskan prinsip kerja LOA. Salah satu hal yang saya sampaikan padanya adalah, “Do you want to be successful through the hard way or easy way?” Keberhasilan akan sangat sulit dicapai, atau membutuhkan upaya yang sangat keras (massive action), bila kita bekerja tidak sejalan dengan LOA.
Banyak orang yang kurang atau tidak mengerti mengenai cara kerja LOA. Akibatnya mereka menggunakan LOA secara tidak sadar (by default) dan membuat hidup mereka menderita. Ada juga orang yang walaupun tidak menyadari adanya LOA namun mereka dapat menggunakannya untuk kemajuan hidup mereka.
Melalui artikel ini saya ingin menjelaskan lebih detil mengenai LOA dan bagaimana kita, dengan pemahaman yang benar mengenai LOA, akan dapat menggunakan LOA untuk kemajuan kita di berbagai aspek kehidupan.
Untuk bisa mengerti cara kerja LOA kita perlu mengetahui cara kerja pikiran. Pikiran mempunyai vibrasi. Dan apa pun yang kita pikirkan akan dikirim ke semesta alam dalam bentuk sinyal yang akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan vibrasi pikiran kita. Likes attract likes. Dengan memahami hal ini maka apa pun yang terjadi dalam hidup kita baik yang positif dan negatif adalah akibat dari hasil kerja LOA yang diaktifkan dan diarahkan oleh pikiran kita.
Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah sifat LOA yang selalu ”on”. ”Selalu” artinya tiap detik selama kita hidup dan pikiran masih bekerja maka LOA akan aktif.
Untuk mudahnya saya berikan ilustrasi berikut. Bayangkan anda bekerja, sebagai seorang manajer, di stasiun televisi. Tugas anda menentukan materi siaran yang akan ditayangkan secara live. Anda bebas menentukan apa jenis materinya. Setiap materi yang akan disiarkan akan ditampilkan di layar monitor dan setelah itu akan di-broadcast dengan satelit ke seluruh dunia. Anda mendapat materi siaran dari dua tim yang berbeda. Ada tim A dan tim B. Apa pun usulan materi siaran yang mereka ajukan, andalah yang berhak menentukan pilihannya.
Apa yang saya jelaskan di atas sama dengan cara kerja pikiran. Anda, pada ilustrasi di atas adalah kesadaran diri. Tim A adalah pikiran sadar dan Tim B adalah pikiran bawah sadar. Layar monitor adalah layar mental/pikiran anda. Dan karena sifat siarannya adalah live maka apa pun yang muncul di layar monitor akan langsung disiarkan tanpa sensor sama sekali.
Namun jangan khawatir. Walaupun apa yang ada di pikiran akan selalu disiarkan hal ini tidak berarti kita akan langsung bisa mendapatkan atau menarik hal-hal yang ada di pikiran kita ke dalam realita fisik kita. Dengan bahasa yang lebih sederhana ada waktu jeda/time-delay antara saat kita mem-broadcast materi pikiran dan saat kita mendapatkan apa yang kita broadcast.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa ada lebih banyak orang yang hidupnya susah dibandingkan dengan orang yang bahagia? Mengapa lebih banyak orang yang gagal dibandingkan dengan yang sukses?
Dengan memahami cara kerja LOA maka akan sangat mudah menjawab pertanyaan ini. Orang gagal/susah adalah orang yang menggunakan LOA untuk menarik hal-hal yang justru tidak mereka inginkan. Sedangkan orang sukses/bahagia adalah orang yang, baik secara sadar atau tidak, menggunakan LOA untuk menarik hal-hal yang mereka inginkan.
Anda bisa membantah saya dengan berkata, “Lha, Pak, siapa yang mau hidup susah. Hanya orang edan saja yang mau hidup susah. Bukankah orang yang gagal atau hidup susah itu juga telah berusaha keras untuk bisa sukses/bahagia?”
Anda benar sekali dan juga keliru. Anda benar bahwa tidak ada orang yang mau gagal. Namun Anda keliru jika hanya menilai seseorang berdasar tindakan atau ucapannya. Mengapa bisa begitu? Karena LOA tidak memberikan respon pada tindakan atau ucapan. LOA hanya memberikan respon pada (vibrasi) pikiran yang mendasari tindakan atau ucapan. Anda jelas sekarang? Yang paling penting adalah pikiran di balik setiap tindakan atau ucapan kita.
Pikiran mempunyai dua outlet yaitu ucapan dan tindakan. Jadi, apa pun yang kita ucapkan dan lakukan selalu diawali dengan pikiran. Untuk bisa menggunakan LOA demi kemajuan kita maka yang perlu kita benahi dan tingkatkan adalah kualitas berpikir kita. Bukan ucapan atau tindakan kita.
Anda mungkin ingat cerita mengenai seorang wanita yang sangat membenci ibunya. Sejak kecil wanita ini memutuskan bahwa kelak saat dewasa ia tidak ingin menjadi seperti ibunya. Keinginan untuk tidak menjadi seperti ibunya begitu kuat tertanam di pikiran si wanita ini. Setelah dewasa apa yang terjadi? Wanita ini menjadi serupa dengan ibunya. Lha, kok bisa? Ini adalah salah satu bentuk dari hasil kerja LOA. Dengan tidak ingin menjadi seperti ibunya maka yang muncul di layar mentalnya adalah si ibu. Wanita ini secara tidak sadar telah memberikan perhatian, fokus, dan energi dalam bentuk emosi kepada buah pikirnya. Sehingga ia mendapatkan hasil yang seakan-akan bertentangan dengan keinginannya.
Dari umpan balik yang saya terima dari para alumnus SC, sudah ada 3 (tiga) orang yang mendapatkan mobil gratis. Dua alumnus mendapat hadiah dari kawan mereka padahal mereka sama sekali tidak meminta. Sedangkan yang satunya mendapatkannya dari sebuah bank. Yang lebih istimewa dari kawan kami yang dapat mobil dari bank yaitu saldonya hanya sebesar Rp300.000 saja.
Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Ah, yang benar saja. Masa semudah ini?” Pertanyaan ini juga yang sering muncul di pikiran saya dan kawan-kawan yang ”beruntung”. Kita mengalami LOA namun kita tetap masih begitu terkagum-kagum.
Di SC kami mengajarkan 5 langkah sukses yang menjadi intisari apa yang kami tulis di buku Becoming a Money Magnet, yaitu:
1) Tahu apa yang diinginkan/Dream
2) Yakin
3) Syukur
4) Pasrah
dan 5) Doa.
Sederhana, bukan?
Apakah dengan mengetahui dream berarti kita bisa langsung mendapatkan apa yang kita inginkan dengan bantuan LOA? Belum bisa. Ada syarat lain yang harus dipenuhi. Apa itu? Buah pikir (thought) bila hanya dipikirkan ”apa adanya” akan mempunyai efek tarikan yang kecil. Untuk bisa memperbesar efek tarikannya, dengan demikian mempercepat realisasi pikiran-menjadi-realita fisik, dibutuhkan bantuan emosi sebagai booster. Emosi yang dimaksud bisa berupa emosi positif maupun yang negatif.
Sekarang coba kita lihat hidup kebanyakan orang yang ”biasa-biasa”. Mereka biasanya salah menggunakan pikiran mereka. Apa maksudnya?
Pikiran tidak mengenal garis waktu yang membagi waktu menjadi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Yang ada hanya satu waktu saja yaitu saat ini, the moment. Kebanyakan orang hidup di masa lalu mereka. Yang mereka ingat sering kali adalah pengalaman buruk, kegagalan, dan atau kejadian traumatik yang pernah mereka alami. Kalaupun mereka ”melihat” ke masa depan maka yang dilihat adalah juga sesuatu yang suram dan tidak menyenangkan.
Sekali lagi, pikiran hanya mengenal ”saat ini”. Saat kita memikirkan kejadian di masa lalu maupun sesuatu yang kita antisipasi di masa depan maka semua bentuk pikiran ini langsung muncul di layar monitor kita. Apa yang terjadi setelah itu? Benar sekali. Apa yang ada di layar monitor (pikiran) langsung disiarkan. Selanjutnya apa yang terjadi? Dengan ”bantuan” LOA kita akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan vibrasi buah pikir kita.
Oh ya satu hal yang perlu saya tekankan adalah bila saya berbicara mengenai pikiran maka saya selalu mengacu pada kedua pikiran yaitu pikiran sadar dan bawah sadar. Pengalaman klinis membuktikan bahwa yang mendominasi pikiran kita adalah pikiran bawah sadar yang kekuatannya sembilan kali lebih kuat dari pikiran sadar.
Jika kita ingin membuat LOA bekerja maksimal maka kita perlu membereskan berbagai mental block yang ada di pikiran bawah sadar. Seringkali apa yang kita pikirkan secara sadar, misalnya ingin sukses, ternyata bertentangan dengan buah pikir yang ada di pikiran bawah sadar.
Yang terjadi selanjutnya adalah kita mem-broadcast dua macam vibrasi pikiran. Yang satu ingin kita sukses dan yang satu lagi tidak ingin kita sukses. Mana yang lebih kuat efeknya? Sudah tentu vibrasi dari pikiran bawah sadar. Mengapa? Karena buah pikir dari pikiran bawah sadar telah di-charge dengan emosi.
Nah, setelah mengetahui hubungan antara pikiran dan LOA lalu apa yang bisa kita lakukan untuk memanfaatkan LOA untuk kemajuan kita? Kuncinya satu yaitu kesadaran diri. Kita harus berusaha selalu sadar untuk mengarahkan pikiran kita untuk hanya memikirkan hal-hal yang kita inginkan.
Pada artikel selanjutnya saya akan membahas lebih dalam lagi mengenai The Law of Attraction.[awg]



* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.

Selasa, 23 Februari 2010

MARKETING SCIENCE HERMAWAN KERTAJAYA

Di dalam buku yang berjudul "Rethinking Marketing: Sustainable Market-ing Enterprise di Asia" karya Hermawan Kertajaya yang diterbitkan oleh Prenhallindo Jakarta tahun 2003, menjelaskan dengan detail bahwa Ilmu Marketing dewasa ini harus berpihak kepada market yang berubah sangat cepat, pelanggan sangat sensitif terhadap harga, kompetitor baru bermunculan, saluran distribusi baru dan saluran komunikasi baru juga semakin canggih-internet, teleconference dan teknologi yang mendukung pasar menjadi pendukung bangkitnya otomasi penjualan dan pemasaran.

Masalah utama di pasar sekarang adalah terjadinya kelebihan kapasitas yang mengakibatkan terjadinya "hiperkompetisi", terlalu banyak mengejar pelanggan yang jumlahnya terus berkurang, kebanyakan produk kurang differensiasi akibat banyaknya perusahaan yang mengalami penurunan pangsa pasar, stagnasi, bahkan bangkrut karena tidak dapat bersaing. Agar setiap perusahaan dapat bertahan hidup, maka perusahaan harus selalu berupaya:

  1. Menjadikan pemasaran sebagai konsep strategi bisnis yang mampu melakukan tindakan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang terus berubah: tujuannya agar perusahaan dapat mengatasi persaingan, mencegah merosotnya pangsa pasar, stagnasi, dan mencegah kebangkrutan.
  2. Secara terus menerus perlu melakukan kaji ulang, penyesuaian dan mentransformasikan dimensi-dimensi perubahan, sustainable dan enterprises untuk mendorong penciptaan nilai yang terukur bagi stakeholder.

Dengan melakukan analisis yang cermat terhadap berbagai perubahan, usaha-usaha berkelanjutan akan memberikan pemahaman yang lengkap bagi marketer yang berguna dalam menggerakkan arah bisnis dengan benar dan tepat. Analisis terhadap perubahan akan mampu melihat dengan jelas kekuatan-kekuatan perubahan (politik, teknologi, social cultural, ekonomi, competitor dan konsumen dengan analisis dari peringkat sangat penting sampai dengan peringkat tidak penting) berdampak secara significant terhadap kegiatan perusahaan.

Demikian juga dengan analisis berkelanjutan untuk mengarahkan kemampuan agar setiap bisnis yang dibangun dapat bertahan hidup dalam market yang terus berubah dan semakin kompetitif. Oleh karena itu, secara berkelanjutan marketer harus selalu mengadakan penyesuaian design (rancang bangun) strategi, program dan value untuk menggerakkan bisnis mencapai sasaran.

Sementara analisis enterprise akan mampu mendeteksi dan melihat ketepatan visi (impian terhadap keadaan masa depan (current situation) sebuah perusahaan yang diinginkan), culture (kepribadian-share value, common behavior) dan organisasi sehingga memberi kemampuan kepada manajemen untuk mengelola aktivitas bisnis secara optimal, efisien dan efektif guna menciptakan nilai bagi stakeholder (pelanggan, karyawan, dan pemegang saham)

Secara garis besar Marketing Science:

I. Change

1. Political

2. Technology

3. Socio Cultural

4. Economic

5. Competitor

6. Customer

II. Sustainable

1. Design

Change dan Sustainable akan melahirkan :

a. Strategy

- Segmenting

- Targeting

- Positioning

- Differentiation

- Selling

b. Program

- Product

- Price

- Place

- Promotion

c. Value

- Brand

- Quality

- Service

III. Enterprise

1. Vision

2. Culture

3. Organization

Sementara Enterprise akan melahirkan:

a. Customer

b. People

c. Shareholder

Dikutip dari “Marketing” Ali Hasan

Denpasar, 24 Pebruari 2010

Rabu, 10 Februari 2010

Bila Strategi minus Struktur

written by :
Tuesday, 09 February 2010

Strategi yang hebat tetapi hasilnya kemudian mengecewakan, tentulah banyak penyebabnya. Bila ditanyakan kepada para pimpinan puncak, dengan mudah mereka akan cepat mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah kualitas sumber daya manusia. CEO, CMO atau direktur pemasaran akan mengeluh bahwa team pemasaran mereka tumpul. Mereka dinilai kurang kreatif, tidak mampu menterjemahkan strategi dari atasan atau memang kemampuannya tidak memadai dalam hal intelektual, pengetahuan atau ketrampilannya.

Dari pengalaman sebagai konsultan pemasaran selama ini, saya pun setuju bahwa kualitas manusia atau khususnya kualitas tim pemasaran akan menentukan keberhasilan sebuah produk di pasar. Strategi yang bagus dan implementasi yang buruk, dengan mudah dilihat karena kualitas manusianya. Tapi yang agak jarang disebutkan sebagai penyebab buruknya implementasi strategi adalah struktur organisasi.
Mengapa?

Pertama, lemahnya struktur organisasi dari sebuah divisi pemasaran, biasanya sulit diobservasi secara langsung. Artinya, CEO atau CMO tidak mudah mendeteksi dan membuat kesimpulan bahwa struktur organisasi yang tidak efektif adalah penyebab dari buruknya kinerja sebuah perusahaan atau merek yang perusahaan pasarkan.

Kedua, dampak negatif dari struktur perusahaan yang tidak efektif adalah bersifat sistemik. Perusahaan biasanya sudah mempunyai asumsi bahwa masalah struktur adalah kebijakan yang tidak perlu diubah. CEO tidak mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan struktur. Mereka sadar, ini adalah perubahan yang fundamental yang bisa menggoncangkan roda organisasi.

Dalam banyak tulisan, saya memang lebih senang menulis mengenai strategi. Maklum, ini merupakan area dimana saya berpikir setiap hari. Inilah topik dimana kreatifitas kita diasah. Strategi adalah elemen yang penuh dinamika dan inovasi. Di sisi lain, membicarakan struktur dan deskripsi pekerjaan adalah sesuatu yang statis dan rigid. Terlebih lagi, ini merupakan bidang yang berkorelasi kuat dengan divisi sumber daya manusia. Artinya, marketer biasanya tidak memiliki kewenangan penuh untuk membuat keputusan seputar ini. Dalam tulisan mengenai struktur ini, saya akan fokus untuk struktur tingkat divisi pemasaran dan lebih spesifik, adalah struktur di tim penjualan. Maklum, dibandingkan dengan tim pemasaran lain seperti bidang promosi, komunikasi atau manajemen produk, maka tim penjualan ini biasanya paling besar jumlahnya.

Mari, kita lihat, seberapa jauh struktur tim penjualan Anda sudah konsisten dengan strategi yang sudah diformulasikan. Struktur Tim Penjualan Pada dasarnya, terdapat 4 pilihan untuk membuat struktur untuk divisi penjualan. Pertama adalah struktur dimana tenaga penjual diletakkan sebagai generalist. Mereka adalah tenaga penjual yang melakukan semua pekerjaan. Mereka melakukan semua aktifitas penjualan, dimulai dari mencari prospek, melakukan presentasi, menutup penjualan hingga mungkin urusan pengiriman. Ini adalah struktur yang memberikan efisiensi yang tinggi. Tenaga pemasar, tidak perlu untuk melakukan perjalanan jauh atau membuang waktu di perjalanan mengingat mereka memiliki teritori yang sempit. Biasanya, hanya perusahaan yang memiliki produk yang sederhana dan konsumen yang sederhana, menggunakan struktur ini. Efisiensi adalah hal yang sangat penting walau belum tentu efektif. Struktur ini akan sangat tepat untuk tenaga penjual produk-produk seperti makanan dan minuman yang dijual untuk toko-toko trandisional. Produk-produk seperti ini, relatif sederhana dan bukan produk yang kompleks. Pengetahuan produk yang relatif minim, sudah cukup untuk meyakinkan pembeli untuk membuat keputusan.

Demikian juga, pelanggan dari toko tradisional ini, relatif sederhana dan homogen. Alternatif struktur kedua adalah product specialist. Jadi,tenaga penjual dibagi berdasarkan jenis-jenis produk. Mereka sangat dituntut untuk menguasai produk yang mereka jual. Maklum, sifat produknya yang kompleks. Produk piranti lunak misalnya, adalah contoh dimana banyak perusahaan mengadopsi struktur seperti ini. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tenaga penjual mengusai produk.

Kelebihan dari struktur ini adalah kemampuan tenaga pemasaran untuk memberikan penjelasan yang tinggi. Ini juga sangat efektif bila perusahaan ingin meningkatkan penetrasi dan pangsa pasarnya

Kelemahannya adalah struktur ini tidak fokus dan sulit memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan. Mereka cenderung sangat berorientasi kepada produk dan lemah dalam memahami pelanggan. Selain itu, kelemahan lain adalah dalam hal koordinasi. Pelanggan bisa dikunjungi oleh tenaga pemasar yang berlainan dan belum tentu saling berkoordinasi dengan baik. Struktur ketiga adalah spesialisasi berdasarkan dari pelanggan. Jadi, tenaga pemasaran dibagi berdasarkan dari jenis pelanggan sesuai dengan industri atau segmentasinya.

Sebuah bank misalnya, membagi tenaga penjual untuk kredit berdasarkan dengan jenis industri dari pelanggan. Struktur ini memiliki kelebihan yaitu terutama dalam hal pemahaman terhadap kebutuhan pelanggan. Demikian juga, perusahaan akan lebih mampu untuk menjalin relationship dengan pelanggan dengan baik. Mereka lebih mampu untuk memberikan solusi. Pelanggan umumnya memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Kelemahannya yang utama adalah masalah efisiensi. Biaya perjalanan maupun waktu untuk menemui pelanggan menjadi mahal karena secara geografis, pelanggan cenderung tersebar.

Selain itu, struktur ini, sangat mungkin akan melemahkan ekuitas merek atau membuat dominisasi produk tertentu menjadi berkurang. Demikian pula, pangsa pasar bisa turun seiring dengan peningkatan wallet share. Ini terjadi karena perusahaan cenderung memberikan produk atau layanan yang baru untuk pelanggan yang sama. Struktur yang keempat adalah berdasarkan aktifitas. Dengan struktur ini, terdapat tenaga pemasaran yang hanya bertugas untuk mencari prospek dan sebagian bertugas untuk mencari order dan transaksi. Bagian lain bertugas untuk memberikan layanan purna jual. Tenaga pemasaran menjadi spesialis untuk salah satu aktifitas dalam memasarkan produk. Ini dilakukan perusahaan yang memasarkan sebuah produk atau layanan yang memiliki aktifitas atau prosedur yang kompleks. Perusahaan pembiayaan, cenderung untuk memiliki tenaga verifikasi dan surveyor tersendiri. Demikian pula, mereka memiliki tenaga penjual yang berbeda antara mereka yang mencari order atau yang menutup order. Setiap aktifitas ini, dibutuhkan ketrampilan tertentu yang sulit dilakukan oleh satu tenaga pemasar. Mudah diduga, kelemahan dari struktur ini adalah masalah koordinasi antar bagian. Hal ini bisa membuat kepuasan pelanggan yang rendah karena pelanggan merasa bahwa perusahaan tidak mampu memberikan pelayanan yang tuntas.

Misalnya saja, sebuah bank yang memasarkan kartu kredit, membagi tenaga pemasar berdasarkan aktifitasnya. Untuk mencari prospek, diberikan kepada para tenaga penjual khusus. Setelah itu, terdapat bagian lain yang memproses aplikasi dan kemudian bagian call centre yang menangani pelayanan. Bila terjadi komplain, membuat koordinasi antar bagian ini menjadi tidak mudah karena masing-masing bagian cenderung tidak bertanggung jawab penuh untuk mengatasi komplain tersebut. Dari keempat struktur tersebut, sangatlah mungkin kemudian diciptakan struktur yang hybrid. Artinya, perusahaan menggabungkan antara struktur yang berdasarkan produk dan pelanggan atau berdasarkan aktifitas. Struktur hybrid ini, dalam banyak hal, justru memang yang paling banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan saat ini. Strategi dan Struktur Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa setiap struktur memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Dengan demikian, perusahaan haruslah memiliki struktur yang memang sesuai dengan kondisi eksternal dan juga strategi yang diformulasikan perusahaan. Konsistensi antara strategi dan struktur inilah yang bisa membuat perusahaan mencapai kinerja pasar dan keuangan yang baik.

Sebaliknya, mismatch antara struktur dan strategi, membuat implementasi menjadi buruk. Ironisnya, ternyata banyak perusahaan tetap saja melakukan hal ini. Banyak perusahaan yang mengatakan bahwa mereka sekarang banyak menggunakan CRM sebagai strategi perusahaan. Tetapi, struktur perusahaan tetap saja lebih berorientasi kepada produk atau tenaga pemasarnya dibagi berdasarkan produk. Seharusnya, struktur yang mengacu kepada spesialisasi pelanggan, akan lebih sesuai. Atau paling tidak, menggunakan struktur hybrid. Pada tingkat pertama, dibuatlah struktur sesuai dengan jenis pelanggan. Kemudian, pada lapisan berikutnya, dibuatkan tenaga pemasar sesuai dengan spesialisasi produknya.

Handi Irawan DChairman Frontier Consulting Group

Integrated Marketing Communication

written by : Handi Irawan
Tuesday, 28 October 2008

Efektifitas iklan semakin menurun! Konsumen perlu terus menerus untuk diingatkan melalui berbagai medium komunikasi! Konsumen membutuhkan komunikasi dua arah! Diperlukan pengukuran yang membantu marketer untuk menentukan investasi dalam komunikasi! Database memainkan peran yang semakin penting! Perlu adanya koordinasi dari berbagai komunikasi dari suatu merek atau perusahaan!
Wow !..inilah sebagian dari keinginan para marketer. Tidak mengherankan, Integrated Marketing Communication (IMC) menjadi konsep yang semakin banyak diterima. Hari ini, IMC adalah buzz word dalam dunia pemasaran yang semakin terasa gaungnya. Buku-buku yang membahas promosi dan iklan, mulai mencantumkan kata-kata IMC. Demikian pula, buku yang membahas customer experience dan Customer Relationship Management (CRM) juga mencantumkan IMC. Maklum, semua konsep ini, mempunyai stream yang sama.
IMC sendiri, jelas bukanlah konsep yang baru. Sejak pertengahan dekade 80-an, sudah mulai dilontarkan dan kemudian, gaungnya semakin terasa setelah Don Schultz meluncurkan bukunya yang diberi judul IMC. Yang menarik, sampai hari ini, berdasarkan observasi yang saya lakukan, tidak banyak pelaku bisnis atau bahkan di antara para marketer di Indonesia yang memahami sungguh-sungguh konsep ini.
Ini memang mudah dipahami. Sebagian besar buku IMC, tidak membahas secara total. Mereka membahas dari salah satu sudut komunikasi. Tidak mengherankan, terminologi ini, mempunyai definisi dan penjelasan yang tidak seragam. Hanya satu yang sama yaitu bahwa perusahaan perlu untuk mengintegrasikan keseluruhan pesan komunikasi. Baik program above the line maupun below the line, haruslah memiliki pesan yang sama. Dengan demikian, pesan dari sebuah merek, sesuai dengan strategi positioning yang diinginkan, dapat menancap kuat dalam benak konsumen.
Apa Pendorong IMC ?
Bagi para pelaku bisnis, merek adalah ekuitas yang terpenting. Oleh karena itu, membangun merek yang kuat, adalah tugas inti dari pelaku bisnis dan khususnya bagi para marketer. Inilah alasan pertama, mengapa IMC mendapat sambutan yang sangat positif. IMC adalah senjata utama untuk membangun persepsi, citra dan merek yang kuat dimana konsumen memiliki hubungan yang kuat dengan sebuah merek.
Kedua, perkembangan teknologi telah membuat media komunikasi menjadi sangat beragam dan banyak pilihan. Bukan hanya iklan di televisi, media cetak, radio dan media luar ruang saja, tetapi internet, sms, video, call center dan berbagai even, telah menjadi alternatif dalam berkomunikasi. Tidak mengherankan, diperlukan integrasi yang benar dan efektif dalam mengelola dan mengimplementasikan komunikasi.
Ketiga, globalisasi telah membuat program komunikasi tidak dibatasi dengan geografis. Komunikasi yang ditempatkan di YouTube, mampu menjangkau konsumen di semua negara. Komunikasi dengan call center, mampu menjangkau konsumen di Amerika walaupun secara fisik, terletak di India. Globalisasi ini juga mendorong agar strategi komunikasi relatif mempunyai pesan yang sama untuk konsumen di seluruh dunia.
Ketiga drivers ini, akhirnya menciptakan harapan baru bagi konsumen dalam berkomunikasi. Konsumen tidak ingin berkomunikasi hanya satu arah. Mereka bosan dengan komunikasi yang berbentuk iklan dimana mereka menjadi obyek yang pasif. Mereka lebih senang untuk dilibatkan dan merasa lebih percaya bila produsen juga mendengarkan mereka.
Produsen dan pemilik merek, akhirnya harus melakukan perubahan orientasi dalam berkomunikasi. Komunikasi diperlukan, bukan hanya untuk mendapatkan pelanggan yang baru, tetapi juga membina hubungan jangka panjang. Mereka tidak mau hanya fokus kepada iklan semata tetapi banyak mengandalkan berbagai media. Selain iklan tradisional, maka public relations, even, Point of Purchase (POP), kemasan, pertemuan face to face, pembicaraan melalui telepon dan lain-lainnya, telah menjadi media kontak yang sangat penting. Marketer perlu berkomunikasi sesuai dengan customer touch point.
Dengan penjelasan seperti ini, tidak mengherankan, bila kemudian, diperlukan integrasi. Integrasi akan menghasilkan suatu sinergi. Integrasi inilah yang membuat 1 + 1 menjadi sama dengan 3 atau 4. Bila tidak ada sinergi, maka 1 + 1 menjadi lebih kecil dari 2 atau bahkan lebih kecil dari 1. Mengapa? bayangkan sebuah kejadian seperti ini. Marketer melakukan iklan di sebuah harian surat kabar dengan ukuran 1 halaman penuh. Dalam iklan, dicantumkan nomer call center bila konsumen berminat untuk mendapatkan promosi khusus. Setelah itu, dalam satu hari, ribuan konsumen mengkontak perusahaan. Apa yang terjadi? petugas call center, tidak siap dan tidak mendapatkan informasi dari divisi pemasaran. Maklum, mereka bekerja di dua divisi yang berbeda. Bagi konsumen, kejadian seperti ini, sudah pasti akan meruntuhkan kepercayaan terhadap perusahaan. Bukan hanya gagal menjual, tetapi komunikasi yang tidak terintegrasi, membuat pesan yang tidak jelas dan negatif dalam benak konsumen.
Situasi seperti ini, pastilah berbeda dengan tugas dari marketer 20 tahun yang lalu. Mungkin saat itu, 80% dari bujet digunakan untuk iklan dan sianya hanyalah brosur. Tidak ada media lain. Mereka tidak perlu bekerja sama dengan divisi lain. Tugas komunikasi, hanya perlu dijalankan oleh divisi pemasaran atau komunikasi.
Perspektif IMC
IMC adalah jawaban terhadap situasi dan permasalahan tersebut. IMC adalah suatu proses bisnis yang menggunakan perencanaan, eksekusi, koordinasi dan pengukuran dari semua aktifitas komunikasi yang ditujukan kepada konsumen, karyawan dan pihak-pihak terkait lainnya. Tujuan dari IMC adalah mendapatkan tingkat return (ROI) yang terbaik dan merek yang kuat dan bernilai tinggi.
Apa kata kunci dari IMC? pertama, IMC adalah suatu bisnis proses. Ini menunjukkan bahwa IMC tidak hanya dilakukan oleh individu atau sebuah divisi dari perusahaan saja. IMC adalah komunikasi yang melibatkan banyak divisi. Diperlukan suatu proses, karena sehingga keseluruhan divisi terkait dapat dilibatkan. Mereka yang duduk dalam divisi PR, haruslah bekerja sama dengan divisi pemasaran. Divisi pemasaran, haruslah bekerja sama dengan divisi pelayanan. Divisi ini, seringkali memiliki banyak program komunikasi. Mereka bahkan yang paling sering bertemu dan berdialog dengan pelanggan. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses yang membuat mereka bekerja sama dan mengintegrasikan program komunikasi mereka.
Kedua, IMC mengenal berbagai macam audience. Memang, konsumen adalah audience yang paling penting. Tetapi, prospek dan bahkan, karyawan adalah audience yang penting pula. Sebuah bank misalnya, memiliki ribuan teller dan customer service yang siap untuk berkomunikasi dengan nasabah. Komunikasi internal yang ditujukan kepada mereka, adalah sangat penting sebelum komunikasi tersebut sampai kepada nasabahnya. Yang sering terjadi adalah bahwa mereka tidak mendapatkan komunikasi yang cukup, akhirnya ribuan nasabah mendapatkan pesan yang salah pula.
Ketiga, dengan semakin menurunnya tingkat efektifitas dari program komunikasi, maka diperlukan cara-cara komunikasi yang lebih terukur. Setiap program komunikasi, idealnya, haruslah dapat diukur efektifitasnya dan sekaligus menghasilkan ROI yang optimal. Bila tidak, dalam jangka panjang, perusahaan tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan yang telah menerapkan IMC.
Implikasi Terhadap Organisasi
Dari perspektif di atas, semakin jelaslah peran dari IMC. Lalu, apa implikasi kepada perusahaan? pertama, perusahaan yang menerapkan IMC, haruslah mempersiapkan struktur perusahaan yang benar. Struktur yang tradisional, seringkali sangat vertikal. Top Manajemen menjadi figur yang dominan. Setelah itu, setiap divisi, tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan bekerja sama. Dengan struktur yang tradisional seperti ini, pastilah, bukan perusahaan yang siap untuk IMC. Akan banyak tembok penghalang saat melakukan perencanaan dan eksekusi. Ego dari setiap departemen akan sangat tinggi. Bukan bekerja sama tetapi justru banyak waktu dihabiskan untuk menyelesaikan konflik.
Organisasi yang bersahabat dengan IMC adalah struktur dimana konsumen menjadi sentral dan bukan top manajemen. Pimpinan puncak yang memberikan dorongan sehingga keseluruhan divisi mampu melihat kepentingan konsumen atau pelanggan. Keseluruhan divisi, haruslah dibuat dekat dengan konsumen. Ini bisa terjadi, bila struktur organisasi relatif flat. Selain itu, supply chain management sudah berjalan dengan efektif. Karyawan memiliki empowerment yang baik. Akhirnya, kerjasama antar divisi menjadi lebih baik.
Kedua, pendekatan dalam perencanaan haruslah berubah. Ketiga perusahaan menerapkan komunikasi tradisional, mereka cenderung memilih pendekatan inside-out planning. Perusahaan memulai dengan aspek internal. Mereka melihat tingkat keuntungan yang diperoleh. Setelah itu, mereka mengalokasikan untuk bujet promosi dan komunikasi. Setelah itu, dibagi-bagi berdasarkan produknya. Akhirnya, dibagi berdasarkan media yang dipilih.
IMC memulai perencanaan dengan pendekatan outside-in. Apa bedanya? perusahaan mulai perencanaan dengan melihat konsumen. Siapa yang dijadikan targetnya? apakah tujuannya mencari kosnumen baru atau untuk mempertahankan? berapa target pertumbuhan yang diharapkan? untuk mencapai tujuan ini, berapa tingkat awareness dan image yang diharapkan? Bila keseluruhan pertanyaan ini telah terjawab, perusahaan baru kemudian memilih media untuk mencapai konsumen ini dan akhirnya menghitung jumlah bujet yang diperlukan.
Pada edisi mendatang, saya akan membahas bagaimana menentukan customer contact atau touch point dan berbagai level dari IMC yang dapat dipilih oleh perusahaan.